Ada film menarik yang tayang di Netflix September lalu, judulnya ‘the Social Dilemma’. Film dokumenter ini bercerita soal dampak buruk internet yang, saya percaya, sudah sama-sama kita pahami.
Sebetulnya ‘the Social Dilemma’ tidak banyak membawa kenyataan baru. Premis bahwa Facebook mengumpulkan data kebiasaan kita berinternet, lalu menjual data itu kepada pasar, bukanlah sesuatu yang terdengar asing. Begitupun premis bahwa medsos sengaja didesain agar penggunanya kecanduan menggulir layar gawai, ini juga sudah jadi pengetahuan umum.
Yang menjadi alasan dokumenter ini patut disimak adalah karena ia mengambil sudut pandang mantan ‘orang-dalam’.
‘The Social Dilemma’ mewawancarai belasan orang penting yang pernah bekerja di perusahaan-perusahaan teknologi raksasa. Di antara mereka adalah pencipta tombol like, desainer tombol notifikasi, dan otak di balik hal kecil lainnya yang tidak pernah kita tanyakan asal-muasalnya: kenapa notifikasi berwarna merah; kenapa tiba-tiba ada iklan di Facebook; kenapa berita ini muncul di beranda, sedang berita lainnya tidak; kenapa emotikon harus begitu; kenapa kontrol gulir seperti tidak ada habisnya.
Hal-hal kecil medsos itu bukan datang dari ruang hampa. Ia didesain dengan tujuan tertentu, seperti dijelaskan Tristan Harris di film ini, dan kemudian memengaruhi banyak kehidupan kita di dunia nyata. Harris sendiri bukan orang sembarangan. Ia salah satu pakar di Google.
Tristan Harris mungkin bukan orang pertama yang melihat dampak negatif internet. Namun, pada Februari 2013, ia pernah menyebar sebuah presentasi kepada rekan-rekan kerjanya berjudul “Ajakan untuk mengurangi distraksi & menghomati atensi para pengguna”. Dalam presentasinya itu, Harris menyarankan kepada Google, Apple, dan Facebook ikut bertanggung jawab agar memastikan umat manusia tidak menghabiskan hari-harinya terkubur di dalam gawai.
Sempat mendapat perhatian banyak rekannya, sayang, ajakan Harris saat itu tenggelam dan seketika langsung terlupakan. Dan perusahaan-perusahaan teknologi, dengan model bisnisnya yang penuh permasalahan, kembali dijalankan seperti biasanya seolah tidak pernah ada satupun yang mempertanyakan.
Dampak & Solusi
Di Indonesia, kita pun merasakan bagaimana internet mengubah cara kita bersosialisasi, mengubah jalannya demokrasi, mengendalikan kebenaran berdasar siapa punya like dan follower terbanyak, mengkondisikan pengertian sempit tentang apa yang disebut fakta, merenggangkan hubungan antarmanusia, dan seterusnya.
Kalau internet boleh diibaratkan jembatan emas yang mengantar kita ke tanah seberang modernitas, maka, kita sebetulnya sedang meniti jembatan yang amat rapuh.
Dan kita pun jelas perlu berbuat sesuatu. Pada kenyataannya, internet bukan lagi semata alat yang menunggu untuk dipakai. Melainkan telah menyerupai makhluk hidup, yang dapat merayu, memanipulasi, bahkan memiliki keinginannya sendiri layaknya Frankenstein dalam novel epik Mary Shelley.
Solusi paling radikal yang muncul dari film ‘the Social Dilemma’, adalah menghapus akun medsos. Walaupun solusi ini disertai anggapan dasar bahwa tidak banyak orang cukup waras untuk melakukannya, menghapus medsos adalah cara terbaik keluar dari sistem manipulatif ini.
Hanya saja, menutup akun medsos pun sebetulnya tidak sepenuhnya efektif. Lebih dari itu, diperlukan kesadaran dan kepemimpinan global yang membawa umat manusia pada kedewasaan dalam berteknologi. Itupun bukan barang sebentar untuk mewujudkannya.
Pada gilirannya, perjuangan menaklukkan internet memang masih jauh. Tapi hari ini, kita mungkin bisa turut melakukan hal-hal positif walaupun hanya bersifat lokal. Misalnya membuat aturan-aturan sederhana pada diri kita sendiri, kapan boleh daring dan kapan tidak. Atau dengan cara-cara lain, sejauh kita dapat mengurangi ketergantungan pada benda jahanam yang bernama gawai. []