Scroll untuk baca artikel
Terkini

FIR Kepulauan Riau Diambil Alih Indonesia, Apa Untungnya?

Redaksi
×

FIR Kepulauan Riau Diambil Alih Indonesia, Apa Untungnya?

Sebarkan artikel ini

Indonesia memiliki kebebasan untuk bergerak di wilayah Kepulauan Riau, karena tidak lagi dikuasai otoritas negara lain.

BARISAN.CO – Upaya untuk menjaga kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) akan lebih maksimal melalui penguasaan ruang udara penerbangan (Flight Informatin Region/FIR) di Kepulauan Riau dan sekitarnya.

Hal ini setelah Presiden Joko Widodo (Jokowi) bertemu dengan PM Singapura Lee Hsien Loong untuk menandatangani kesepakatan terkait FIR ini di Bintan.

“Selama penandatanganan FIR (ruang kendali udara) maka ruang lingkup FIR Jakarta akan melingkupi seluruh teritorial Indonesia terutama Natuna dan Riau,” ujar Jokowi dalam konferensi pers daring di akun YouTube Sekretariat Presiden, Selasa (25/1/2022).

Menaggapi itu, Mantan Kepala Staf TNI Angkatan Udara (KSAU), Marsekal TNI (Purn.) Chappy Hakim, menilai, sedikitnya ada tiga keuntungan yang didapatkan Indonesia dengan menguasai FIR Kepri. Seluruhnya demi kesejahteraan rakyat sesuai amanat Pasal 33 UUD NRI 1945 mengingat wilayah kedaulatan udara tergolong sumber daya alam (SDA).

“Apa tuh untuk kesejahteraan rakyat? Yang pertama, adalah karena traffic-nya (lalu lintas penerbangan) tinggi, maka pemasukkannya tinggi, kan,” ucapnya dikutip dari Alinea.id.

Sebelumnya, dalam buku yang berjudul “Quo Vadis Kedaulatan Udara Indonesia?”, Chappy Hakim menyinggung, meski Indonesia mendapat sebagian dana dari Routes Air Navigation Services/RANS Charges (Biaya Jasa Pelayanan Navigasi Penerbangan). Namun, tak ada kejelasan besaran yang Singapura dapatkan dari pungutan tersebut.

Kebebasan di Wilayah Sendiri

Kedua, Indonesia memiliki kebebasan untuk bergerak di wilayah tersebut karena tidak lagi dikuasai otoritas negara lain. Apalagi, kawasan Kepri dan sekitarnya tergolong perbatasan kritis (critical border).

“Karena itu daerah yang merupakan kawasan disebut critical border karena berbatasan dengan banyak negara, apalagi dekat South China Sea (Laut China Selatan/LCS), maka tentunya ada kepentingan Angkata Udara dan Angkatan Laut (AL) untuk beroperasi di sana,” jelasnya.

Terakhir, dapat mengawasi wilayah udara dengan optimal dan maksimal, terutama dalam memantau pergerakan pesawat tanpa izin. “Selama ini penerbangan tanpa izin lewat-lewat saja di situ,” ungkap Chappy.

Pendiri Indonesia Center for Air Power Studies (ICAP) itu menambahkan, kedirgantaraan (air and space) merupakan masa depan umat manusia yang bernilai tinggi sehingga kerap disebut sebagai martabat bangsa.

“Kenapa bernilai tinggi? Karena satelit komunikasi, kan, di udara. Satelit komunikasi, kan, menyangkut kehidupan sehari-hari,” katanya. “Internet, Wi-Fi, dan segala macam. ATM enggak bisa kita ambil uang sendiri kalau time signal dari satelit mati. Betul enggak?”

Kedirgantaran Rawan Ancaman

Meskipun demikian, Chappy mengingatkan, kedirgantaran tergolong wilayah yang kritis terhadap ancaman, baik dari luar maupun dalam negeri.

Apalagi kini mulai marak pesawat nirawak (drone) seiring dengan kemajuan teknologi. “Jadi, (wilayah) udara tuh rawan,” tegasnya.

Jika FIR di Kepri masih di bawah kendali Singapura, menurut Chappy, maka proses menjaga teritorial melalui patroli akan terlalu birokratis karena harus mengajukan izin terlebih dahulu.

Dalam hal ini, Chappy dalam bukunya mencontohkan, pesawat-pesawat milik Indonesia harus meminta persetujuan Air Traffic Control (ATC) Singapura untuk bisa melintasi wilayah udara Kepri dan Natuna.

Apalagi, pesawat-pesawat Indonesia harus menyebutkan sejumlah informasi untuk meminta izin penerbangan dari ATC Singapura. Hal itu seperti identifikasi pesawat, rute penerbangan, dan ketinggian penerbangan untuk seluruh rute.

“Karena sekarang sudah dikuasai Indonesia, maka Angkatan Udara Indonesia bisa terbang bebas tanpa minta izin dengan negara lain, kita lebih berdaulat,” pungkasnya. [rif]