SESEORANG kepleset bukan nginjak batu segede gunung tapi justru karena menginjak kerikil atau cangkang pisang kuning yang dibuang sembarangan di jalan.
Metafor ini pas disemangatkan pada peristiwa yang menyebabkan Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil, merasa tidak nyaman belakangan ini. Kang Emil, demikian orang nomor satu di Jabar ini kerap disapa, lumayan pusing dengan hujatan publik.
Padahal selama ini Kang Emil dalam setiap unggahannya selain cenderung narsis juga kerap banyak heureuy, guyon dan ngabodor. Pokoknya, kalau pidato pun Kang Emil itu mirip komika, selalu cair dan membuat jokes yang mengundang audiens tertawa.
Jadi tidak pernah terbayangkan, Kang Emil bisa serius menanggapi sebuah komentar di akun media sosial pribadinya. Padahal Kang Emil pasti mengerti dalam dunia medsos di Indonesia caci maki, hoaks dan fitnah itu sudah keseharian. Bahkan riset Microsoft sudah menyebutkan netizen Indonesia itu paling tidak sopan.
Awalnya sang guru SMK swasta dari Cirebon yang mengkritik Ridwan Kamil karena berjaket kuning berkomentar kasar, menjadi bulan-bulanan pendukung Kang Emil. Namun, belakangan hujatan beralih kepada Kang Emil.
Sang guru SMK bernama Muhammad Sabil dipecat yayasan. Entah versi mana yang benar. Apakah Kang Emil menelepon langsung atau lewat media sosial sekolah sehingga pemilik yayasan seperti ketakutan dan langsung mengambil keputusan sepihak.
Sebab, secara struktur lembaga pendidikan menengah seperti SMA dan SMK berada di bawah naungan provinsi. Mungkin saja pihak yayasan ketakutan bila dampaknya berbahaya pada soal status sekolah dan angggaran.
Menurut Budayawan Sunda Hawe Setiawan, apapun bentuk kontak Kang Emil dengan pihak yayasan bisa disebut sebagai intervensi.
Mengenai kata ‘maneh’ yang dianggap tidak sopan kepada gubernur juga bisa menjadi perdebatan. Di Priangan maneh mungkin kasar tetapi di Cirebon, Bekasi, Kuningan, Karawang atau Banten. Maneh sudah biasa sebagai bentuk keakraban.
Memang di Priangan mengenal bahasa lemes, sedang dan kasar. Menurut Hawe Setiawan yang juga akademisi Universitas Pasundan ini, adanya undak usuk bahasa di Priangan ini lantaran mengadopsi dari bahasa Jawa. Maklum Priangan itu pernah “dijajah” Jawa Mataram hampir 100 tahun.
Risiko Berpolitik
Seharusnya Kang Emil menyadari bahwa jadi gubernur itu tidak mungkin disukai semua warganya. Itu sudah risiko pejabat publik. Berbuat baik saja dicurigai apalagi berpolitik atau berbuat salah.
“…maneh (kamu) dalam posisi apa? Sebagai Gubernur, kader partai, atau sebagai pribadi Ridwan Kamil.” Itu komentar sang guru SMK saat acara zoom Ridwan Kamil dengan pelajar SMP di Tasikmalaya, yang membuat Kang Emil tersinggung.
Mengambil keputusan menjadi anggota Partai Golkar (sebelumnya tidak berpartai), sejatinya itu sebuah risiko. Tapi keputusan itu sudah diambil. Bisa saja dengan keputusan itu justru menambah jumlah followers, hatters atau justru sebaliknya.
Bisa saja gara-gara masuk partai politik dan reaktif kepada pengkritik justru popularitas dan elektabilitas menurun. Paling tidak sang guru SMK dan istrinya serta keluarga besarnya kemungkinan tak akan memiliki Kang Emil dalam kontestasi lainnya apakah di tingkat Jabar atau nasional.
Padahal sang guru SMK itu sebelumnya disebut-sebut sebagai pendukung Kang Emil dalam Pilgub Jabar. Rugi, kan? [rif]