Scroll untuk baca artikel
Lingkungan

Gaya Hidup Rendah Karbon dalam Mengolah Sampah

Redaksi
×

Gaya Hidup Rendah Karbon dalam Mengolah Sampah

Sebarkan artikel ini

Selain nama-nama di atas, ada pula startup yang mengembangkan aplikasi pengelolaan sampah seperti MallSampah (Makassar), Angkuts (Pontianak), dan JuruSampah (DIY), maupun eRecycle (Jabodetabek).

Kehadiran mereka senapas dengan gerakan-gerakan berbasis komunitas yang sudah eksis terlebih dahulu. Begitupun mereka juga menambah gaung dari praktik luhur ‘bank sampah’ yang pada 2019, menurut catatan KLHK, telah berjumlah sekitar 11.239 unit bank dan tersebar di 34 provinsi.

Ilustrasi: Shuterstock.

Kenapa pihak-pihak minoritas kreatif ini penting, adalah karena mereka berhasil menegaskan kembali bahwa ada nilai ekonomis dari limbah. Mereka tak sekadar mengangkut sampah untuk akhirnya teronggok sebagai benda tak berharga di TPA, melainkan menyikapinya sebagai benda yang dapat didaur ulang dan dimanfaatkan kembali.

Sebetulnya, pemerintah sudah membawa semangat daur ulang sejak ditetapkannya Undang-Undang No 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah. Dalam Pasal 3 UU itu disebutkan: “Pengelolaan sampah diselenggarakan berdasarkan asas tanggung jawab, asas berkelanjutan, asas manfaat, asas keadilan, asas kesadaran, asas kebersamaan, asas keselamatan, asas keamanan, dan asas nilai ekonomi.”

Dalam konteks ini, maka bukan tanpa alasan bahwa pemerintah wajib memberi dukungan. Bagaimanapun, peran fasilitasi pemerintah untuk memastikan praktik pengelolaan limbah yang bertanggung jawab teramat penting.

Apalagi, dengan fakta bahwa limbah di Indonesia selalu naik dari tahun ke tahun, itu menunjukkan betapa harus ada kebijakan yang tegas mengatur. Tentu saja pada gilirannya itu erat kaitannya dengan seberapa besar anggaran yang disediakan. Anggaran mengisyaratkan keberpihakan. Dan keberpihakan menegaskan komitmen.

Kajian Bappenas mengatakan, timbunan limbah akan dapat berkurang 21-54 persen pada 2030 jika praktik ekonomi hijau dapat digalakkan. Emisi GRK juga akan berkurang 7 persen.

Berita baiknya, Selasa (4/5/2021) beberapa waktu lalu, Presiden Joko Widodo secara eksplisit bicara mengenai ekonomi hijau dalam arahannya di pembukaan Musyawarah Perencanaan Pembangunan Nasional (Musrenbangnas) 2021 di Jakarta.

Sekarang, dibutuhkan sinergi antarkementerian/lembaga dan pemerintah daerah untuk menerjemahkan arahan Presiden. Selain itu kolaborasi antarstakeholders, baik state actors maupun non-state actors seperti sektor swasta dan masyarakat sipil, juga perlu diperkuat untuk mendukung kebijakan transisi menuju ekonomi hijau.

Ke depan, limbah yang dihasilkan masyarakat akan semakin banyak seiring pertumbuhan populasi. Jika ekonomi hijau tidak disikapi serius sejak sekarang, tidak sulit membayangkan bagaimana limbah akan menyulitkan masa depan kita. []