Scroll untuk baca artikel
Blog

Geliat Cagar Budaya dan Gegap-Gempita Teknologi Digital: Milenial Dipihak Mana?

Redaksi
×

Geliat Cagar Budaya dan Gegap-Gempita Teknologi Digital: Milenial Dipihak Mana?

Sebarkan artikel ini

Aplikasi yang dihasilkan dari pemanfaatan teknologi digital atau  internet, yang kita kenal dengan platform digital, seperti yang kita pakai sehari-hari juga bisa kita lihat, memengaruhi dan membentuk perilaku baru atau tidak?

Pribadi terkemuka, Gita Wiryawan pernah mengatakan, “Banyak  platform yang lahir di negeri kita kering filosofi.” Pembacaan liar  saya, paltform yang ada di negeri kita dilahirkan atas latar belakang

kebutuhan pasar belaka bukan atas dasar peningkatan kualitas  manusia, mengangkat martabat manusia serta pemberdayaan nilai.  

Dampaknya, tidak sedikit yang tumbang sebelum tanggal kalender bulanan habis. Sekali lagi, tidak hendak mencari perbedaan dulu dan kini,  kemajuan dan ketertinggalan, cagar budaya dan teknologi digital.

Semestinya, apa yang kita kenal dengan platform tidak semata-mata  milik apapun yang bisa kita unduh di playstore. Platform merupakan titik temu bagi banyak pihak dengan secara suka rela;  platformi bisa saja ide, narasi, dan gagasan bahkan nilai.

Contoh, “Gotong Royong” adalah platform bonding sosial. Contoh lain, “Sambatan” adalah platform kerja sama. Baik gotong royong  maupun sambatan adalah platform berbasis nilai.

Cagar budaya bisa kita posisikan sebagai platform.Wadah untuk  menemukan, mempelajari, memahami nilai, cara, teknologi, metodologi , konsep, gagasan, ide dari pendahulu. Contoh, Era  Kalingga, Jaman Ratu Shima memiliki sistem ”Tanibala” yaitu  sebuah sistem yang mengatur ragam aktivitas masyarakat tani  termasuk pengaturan irigasi bahkan cara pemanfaatan kawasan pertanian: pemilihan tananam dan sebagainya.  ”Tanibala” sebagai nilai, kala itu berpengaruh besar terhadap masyarakat tani.

Bagaimana memosisikan alam, tanaman, dan sesama petani.  Terdapat relasi antara manusia-alam-Tuhan yang ujungnya  martabat manusia terjaga, yaitu menjadi hamba di hadapan  Tuhannya-Menjadi keluarga di hadapan alam. Dampaknya, ada  harmoni manusia dan alam. Akhirnya berbuah minimalisasi pengrusaka terhadap alam.

Baik cagar budaya dan teknologi digital merupakan sama-sama  sebuah platform. Bila bisa lebur kenapa harus dipertentangkan, PR  kita bersama sebagai milenial mencari titik temu. Tugas jaman kita  adalah meninggalkan budaya yang kelak di lihat anak-anak kita.

Riilnya, minimal mengurang model konten mengguyur kakek[1]nenek untuk mendapatkan saweran. Bagi yang sedang bergiat bidang cagar budaya, keberadaannya  bukan semata papan nama bertuliskan “situs budaya xxxx” cagar  budaya adalah platform.

Begitu juga bagi yang bergiat bidang  teknologi digital tidak berhenti pada pemikiran aspek kebutuhan pasar, atau rela “membodohkan” diri sekadar untuk memenuhi  indikator viral yang bertujuan pada popularitas hingga cuan.