Menurut anggota Kelas Negarawan Muda, A. Ramdani anggapan anak muda akan pengalaman terjadi jika tidak adanya semangat untuk terlibat langsung. Sehingga, dia menuturkan sudah seharusnya hal ini menjadi perhatian dunia kampus dan organisasi masyarakat serta komunitas.
“Sehingga partai politik lama, mulai melihat bahwa kepentingan regenerasi dalam pendidikan politik jauh lebih diutamakan daripada sekadar menargetkan suara melalui jalur public figure. Ini akan membuat generasi muda bukan hanya difasilitasi sebagai tim hore atau pemanis,” kata Ramdani kepada Barisanco pada Kamis (9/6/2022).
Mahasiswa Universitas Negeri Jakarta, Muhammad Islah Satrio menyebut, yang dapat memahami kebutuhan anak muda secara layak adalah kaum muda itu sendiri.
Islah menyampaikan, minimnya generasi milenial di DPR memuat suara keterwakilan anak muda untuk memenuhi kebutuhannya seperti pengalaman empiris masih belum memadai. Dia juga menambahkan kemauan anak muda dalam aktualisasi diri dalam urusan politik khususnya politik praktis saat ini sudah meningkat.
Islah menuturkan, kesempatan anak muda untuk mencalonkan diri sebagai calon legislatif maupun calon kepala daerah masih rendah.
“Terlebih mereka harus melakukan kontestasi di internal parpolnya yang biasanya melawan orang jauh lebih tua dan disegani dari parpolnya itu sendiri,” ungkapnya.
Selain itu, Islah melanjutkan ongkos politik yang harus dikeluarkan menjadi salah satu faktor penghambar anak muda untuk berpartisipasi dalam berkontestasi di politik praktis. Namun begitu, dia mengaku pada Pemilu 2019 khusunya pemilihan capres memilih golput. Alasannya karena calon yang diusung partai besar hanya mengulang pemilu 2014 lalu sehingga menurutnya tidak ada wajah, gagasan, serta harapan baru dalam mengisi ruang capres tersebut.
“Sepak terjang kedua calon tersebut masih banyak yang harus dievaluasi khususnya soal isu HAM yang saya geluti saat ini. Baik calon yang diutus petahana untuk melanjutkan periode sebelumnya maupun calon baru yang diutus oleh oposisi memiliki kontroversi keterlibatannya dalam pelanggaran HAM berat di masa lalu,” lanjut Islah.
Dia menegaskan jika anak muda tidak diberi kesempatan mencalonkan diri dalam politik praktis terutama terkait kendala kontestasi di parpol atau ongkos politik, maka politikus yang lebih tua dan tidak dapat memenuhi kebutuhan serta aspirasi anak muda akan terus menguasai posisi strategis. Sehingga, dia menganggap ketimpangan itu tidak akan dapat memenuhi aspirasi serta kebutuhan dari anak muda.
Pada 7 Oktober 2016, Kementerian Hukum dan HAM secara resmi mengumumkan Partai Solidaritas Indonesia (PSI) menjadi satu-satunya partai baru yang lolos verifikasi saat itu.