Scroll untuk baca artikel
Khazanah

Gunung Puntang, Ada Puing Sejarah Radio Terbesar di Dunia

Redaksi
×

Gunung Puntang, Ada Puing Sejarah Radio Terbesar di Dunia

Sebarkan artikel ini

Selanjutnya, guna membangkitkan ribuan kilowatt gelombang radio dengan panjang gelombang 20 kilometer sampai 75 kilometer, digunakan teknologi ‘busur listrik’ untuk pemancar telegraf dan telepon radio, yang membutuhkan tenaga 750 Volts dan daya 1 MA. 

Jadilah Stasiun Radio Malabar dilengkapi dengan 2 arc transmitter berkekekuatan 2.400 KW dan diklaim menjadi transmitter terkuat di dunia yang pernah dibuat pada masa itu. Selain Bangunan Stasiun Radio Malabar, turut pula dibangun beberapa fasiltas yang diperuntukan bagi pegawai Radio, diantaranya rumah tinggal para pimpinan dan pekerja Radio Malabar, Lapangan tenis, fasilitas jalan, dan penampungan air bersih.

Banyak rintangan  dalam proses pembangunan Stasiun Radio Malabar ini, Seperti badai tropis dengan kilatan-kilatan petir yang merusak sejumlah peralatan penting termasuk pemancar. Hingga akhirnya pada 5 Mei 1923, Gubernur Jenderal Hindia Belanda Dirk Fock meresmikannya dengan cara mengirim pesan telegraf radio kepada Ratu Belanda dan Menteri Urusan Koloni. 

Perkembangan dan proses operasional Stasiun Radio Malabar terus berlangsung sampai pada 1929, ketika William Frederik Christiaan Dieben alias Willy Derby menyanyikan lirik lagu ‘Hallo Bandoeng’ dari Stasiun Radio Kootwijk Belanda yang disiarkan langsung untuk didengarkan pemirsa Radio Malabar di Hindia Belanda (Indonesia).

Pada 1942, kabar mengenai serangan Jepang ke Indonesia membuat pengurus Radio Malabar resah. Semakin hari, kabar tersebut semakin berujung pada kenyataan. Oleh karena itu, guna menyelamatkan stasiun radio dari pihak lain, khususnya Jepang, salah satu pejabat Radio Malabar, Van der Berg, mulai menghancurkan beberapa peralatan penting di sana. Hal ini bertujuan, bila memang nanti jatuh ke tangan bangsa Jepang, Radio Malabar tak akan berfungsi sama sekali.

Meski demikian, Menurut Ridwan Hutagalung, penggiat sejarah Bandung, seperti ia kutip dari Pemberontakan Cileunca, Pangalengan, Bandung Selatan (1996) karya Ahmad Mansur Suryanegara, Stasiun Radio Malabar sempat menjadi media propaganda Jepang dengan melakukan kontak dengan Hooshoo Kanri Kyoku di berbagai daerah lain di daerah pendudukannya.

Saat peristiwa Bandung Lautan Api yang bermula sejak 1945, berimbas pada Gedung Stasiun Radio Malabar ikut dihancurkan masyarakat di tahun 1946. Kawasan yang dibangun megah itu menyisakan puing-puing tak terawat.

Bekas-bekas kejayaan Stasiun Radio Malabar masih bisa dilijat, terdapat bekas-bekas lapangan tenis, kolam renang, bekas bioskop, bekas toko, dll. Tentu saja, berbagai fasilitas lengkap tersebut, ditujukan agar para pegawai Stasiun Radio Malabar dahulu menjadi betah tinggal di daerah terpencil.