“Dan, menurut mayoritas ulama, tunggu ru’yah bi al-fi’li. Mata telanjang bisa melihat, karena agama ini menggantungkan perintah bersamaan dengan melihat. Kalau tak melihat, bagaimana bisa kena hukum.” lanjut Gus Baha. “Ketika Pak Rektor ke rumah saya, tapi saya tidak tahu kedatangannya, sehingga saya tak menyambut dan tidak memberi penghormatan, salahkah saya? Tidak kan? Karena saya memang tidak tahu, tidak melihat. Sebaliknya, ketika Pak Rektor tetap mengatakan, tapi saya benar-benar datang ke rumah Gus Baha, apakah perkataan Pak Rektor itu salah? Tidak juga kan? Jadi, sama benarnya. Ribet kan jadinya?“
Demikian “Ngaji Bareng Gus Baha: kerjasama UMM dengan Pesantren Tahfidzul Qur’an LP3IA” yang bisa saya narasikan. Di forum itu beliau mengurai: pertama, soal kearifan menghadapi kenyataan, bahwasanya kita mesti hanya terdikte oleh Allah swt (lihat narasi “TERDIKTE ALLAH”). Kedua, sekilas sejarah ulama Indonesia yang bersinar di Timur Tengah (lihat narasi “ULAMA INDONESIA”); dan ketiga, senam otak, yakni mengkaji fikih.
Singkatnya, Gus Baha dengan penampilan sederhana, tapi justru menunjukkan kepercayaan diri yang kuat, walau berhadapan dengan rektor dan jajaran pejabat UMM. Layaknya santri tradisional, beliau berpeci rada semerawut, tapi begitu dahsyat saat mengutip beragam kitab klasik. Gus Baha, memang belum pernah belajar di pusat keilmuan Islam di Al Ahzar Mesir, atau di Universitas Raja Abdul Aziz di Jeddah Arab Saudi, juga tak mengenyam filsafat atau teori sosial modern dari Universitas Harvard, univeristas terbaik dunia di Amerika Serikat, atau di Perancis, atau Inggris, tapi kapasitas keilmuan beliau sungguh mengagumkan.
Jadi, bagaimana mungkin saya tak berpikiran bahwa kedalaman santri salaf pun, toh akhirnya sanggup melampaui gelar-gelar akademik yang umum dibanggakan itu. Bagaimana mungkin saya tak mengasyiki ceramah-ceramah beliau, meskipun tanpa pijakan teori kritis, tanpa petuah Karl Marx.
Ungaran, 23/08/2020; 17.40