Oleh: Lukni Maulana
Melalui media sosial ucapan permohonan maaf seperti kata “minal aidin wal faizin, mohon maaf lahir dan batin” begitu derasnya membanjiri halaman. Ternyata ucapan tersebut menjadi hiasan yang memiliki popularitas tinggi dan bahkan memiliki nilai pluralis.
Karena siapa saja berhak memberikan selamat dan ucapan permohonan maaf. Permohonan maaf sebagai bentuk dari keadaban yakni “halalbihalal,” karena itu hanya terjadi di bangsa Indonesia.
Memiliki kebanggaan tersendiri dengan kenusantaraan,dapat memiliki kebudayaan yang disebut halalbihalal. Bahkan halalbihalal menjadi tradisi pertemuan antar keluarga besar, organisasi, instansi pemerintahan maupuan komunitas.
Lalu siapakah pencetus tradisi halalbihalal tersebut? Halalbihalal digagas KH. Abdul Wahab Chasbullah yang juga penggagas lahirnya organisasi Nahdlatul Ulama. KH. Abdul Wahab Chasbullah juga menjadi pengasuh di pesantren Bahrul Ulum Tambakberas Jombang.
Latar belakang halalbihalal oleh sebab bangsa Indonesia rentan dengan bentuk disintegrasi bangsa. Para elite politik mulai banyak yang bertikai, pemberontakan terjadi di mana-mana, seperti DI/TII dan PKI Madiun.
Pada tahun 1948 di pertengahan ramadhan, Presiden Soekaro memanggil KH. Abdul Wahab Chasbullah ke istana negara. Bung Karno berbincang dengan KH. Wahab Hasbulah terkait situasi politik saat itu.
Lalu KH. Wahab Chasbullah memberikan saran untuk menyelenggarakan acara silaturahmi. Namun Bung Karno meminta saran kembali, bahwa silaturahmi merupakan istilah yang sudah umum, Bung Karno pun meminta saran lain.
Kemudian KH. Wahab Chasbullah mengatakan, “Para elit politik tidak mau bersatu, itu karena mereka saling menyalahkan. Saling menyalahkan itu kan dosa. Dosa itu haram. Supaya tidak punya dosa (haram), maka harus dihalalkan.
“Mereka harus duduk dalam satu meja untuk saling memaafkan, saling menghalalkan. Sehinga silaturahmi nanti kita pakai istilah, “Halalbihalal,” lanjut KH. Wahab Chasbullah
Hingga sampai saat ini halalbihalal menjadi kebudayaan dan tradisi dalam menyambung tali silaturahmi untuk duduk bersama memecahkan penyelesaian masalah bersama “thalabu halaal bi tariiqin halaal”. Begitupun halal bi halal menjadi bagian untuk saling pembebasan kesalahan “halaal yujzau bi halaal.”
Jadi istilah halalbihalal yang terkesan kearaban sebenarnya merupakan asli bangsa Indonesia. Istilah halalbihalal dalam pengertiannya seperti di kamus besar bahasa Indonesia (KBBI) memiliki maksud maaf-memaafkan pada hari raya idul fitri.
Hal ini menjadi bukti bahwa bangsa Indonesia adalah bangsa yang keberadaban, memiliki kearifan lokal yang terus dijaga karena halalbihalal merupakan tradisi yang baik dan merupakan tuntunan agama untuk meminta maaf jika kita memiliki kesalahan dan menjaga hubungan tali silaturahmi.
Halalbihalal dilakukan pada bulan syawal tepat awal hari raya idul fitri yang memiliki mana “kembali fitrah” atau kembali suci, sebab manusia terlahir dalam keadaan putih dan bersih. Bisa jadi halalbihalal dalam tendensi kebudayaan sekarang ini untuk kembali fitrah atau suci ia harus meminta dan memberikan maaf oleh karena setiap manusia yang terlahir suci akan tergores oleh lingkungannya yang belum tentu bersih.
Permohonan maaf dan silaturahmi menjadi tendensi kebudayaan lokal bangsa indonesia yang merajut pada instansi, organisasi, keluarga besar, maupun komunitas untuk menyelenggarakannya sebagai pertemuan untuk menjalin keakraban dan permohonan maaf.
Inilah metamorfore ajaran Islam tentang silaturahmi dan permohonan maaf yang kemudaian berlaku secara universal menjadi ekspresi kebudayaan lokal yang hanya terjadi di bangsa nusantara ini.
Untuk mengakhiri tulisan ini maka selayaknya kita kembali bermuhasabah tentang kebudayaan lokal yang berwujud halalbihalal ini. Pertama, permohonan maaf. Maka sepatutnya kita merenungi diri, apakah kita memiliki kesalahan kepada sesama, atau tanpa sengaja kita mengucapkan kata-kata yang melukai saudara kita baik melalui lidah yang teramat ringan ini, maupun media sosial lainnya.
Kedua, silaturahmi. Menyambung persaudaraan merupakan rasa kebersamaan dan persatuan kita, karena kita hidup berdampingan atau berjamaah dengan beragam agama, suku, ras, maupun golongan. Tali silaturahmi menjadi pengikat kita tentang makna bineka tunggal ika.
Ketiga, tradisi lokal. Sepatutnya kita menjaga tradisi ini, meski hanya terjadi pada bulan syawal. Namun alangkah baiknya pemahaman ini tidak sebatas hanya pada bulan syawal, karena jika kita punya salah saat itu, maka kita diperintahkan untuk segera meminta maaf.
Tradisi halalbihalal ada spirit kebudayaan dan kemanusiaan yakni sebagai sebuah tradisi yang lahir dari rahim untuk memecahkan masalah bersama, dan kemanusiaan sebagai hubungan kita sebagaimana “khoirun naas anfauhum lin naas” sebagai-baik manusia adalah yang bermanfaat bagi manusia lainnya.
Diskusi tentang post ini