Scroll untuk baca artikel
Kesehatan

Hindari ‘Toxic Positivity’, Kalimat Bijak yang Tak Selesaikan Masalah

Redaksi
×

Hindari ‘Toxic Positivity’, Kalimat Bijak yang Tak Selesaikan Masalah

Sebarkan artikel ini

BARISAN.CO – Ada waktu di mana seseorang mengalami masalah yang bertubi-tubi, hingga menyebabkan mental distress padanya, dan orang itu menceritakan yang ia rasakan kepada orang lain.

Pada dasarnya pemaknaan setiap orang akan berbeda-beda. Ada yang merespons keluhan dengan kata-kata positif dengan memberikan semangat, ada pula yang memberikan respons dengan kata-kata negatif. Namun, yang menarik, rupanya ada pula yang namanya toxic positivity, di mana respons berbentuk kata-kata positif justru malah memberikan dampak negatif. Kok bisa begitu?

Apa itu toxic positivity? Toxic positivity adalah kondisi di mana seseorang tertekan saat menyembunyikan perasaan negatif agar ia terlihat ‘baik-baik saja’. Menurut psikolog asal Amerika, Konstantin Lukin, toxic positivity adalah adanya fokus dan obsesi berlebihan pada hal-hal positif sehingga kita menolak apa pun yang dapat memicu emosi atau perasaan negatif.

Seseorang yang sedang mengalami toxic positivity terkesan tertutup—atau lebih buruknya, memalsukan—mengenai apa yang ia rasakan demi menghindari energi negatif. Lalu apa yang menyebabkan seseorang bisa mengalami toxic positivity atau apa dampak dari gejala itu?

Biasanya penyebab awal dari toxic positivity adalah karena orang terdekat yang kurang konklusif dalam mencari jalan keluar masalah yang sedang kita hadapi. Akibatnya, ia mungkin hanya memberikan kalimat sejauh seperti, “Kamu bisa melewati ini”, “Semangat”, “Pasti bisa”, dan hal-hal semacam itu.

Kalimat tersebut memang terdengar baik untuk diucapkan di hadapan orang gundah. Namun tidak memberikan sebuah solusi atau bahkan lebih mirip omong kosong tukang obat.

Kasus toxic positivity biasanya mudah dijumpai di media sosial. Seseorang yang sedang mengunggah apa yang ia alami, akan mendapatkan banyak atensi dari orang-orang, dan mendapatkan banyak kalimat positif baik kalimat singkat maupun kalimat-kalimat kiasan. Banyak pula kutipan kalimat dari tokoh-tokoh terkenal yang disampaikan ulang.

Contoh lain dalam keseharian adalah ketika seseorang berduka ditinggal keluarganya dan orang lain memberi respons, Hidup dan mati manusia sudah diatur, jangan bersedih, kamu harus tegar.” Atau saat seseorang menceritakan pengalaman sedih yang ia rasakan, namun ia hanya mendapat respons, “Kamu baru begitu doang saja sudah sedih, aku nih lebih parah”.

Efek dari seseorang yang mengalami toxic positivity adalah seseorang tersebut sukar berpikir realistis. Ketika ia dihadapkan pada suatu masalah yang mengganggu, bukan solusi yang didapat, malah stress bertambah. Jelas berbahaya apabila kemudian stress itu berlarut-larut.

Seseorang yang mengalami toxic positivity juga sukar untuk melihatkan atau mengungkapkan kesedihannya. Selalu terlihat positif setiap mendapati masalah agar orang lain menganggap dirinya sedang baik-baik saja, tidak menutup fakta bahwa ia butuh pertolongan dan ucapan yang muncul dari penilaian yang jujur.

Di sinilah penting pentingnya kita mengukur sejauh mana kata-kata positif dapat diucapkan, dengan porsi yang pas, sebelum itu terlalu banyak dan berubah menjadi racun.

Sebetulnya, ada banyak pilihan respons yang baiknya diberikan terhadap seseorang yang sedang mengalami masalah. Kalimat seperti, “Masih banyak hal yang lebih buruk di dunia ini,” lebih baik diganti menjadi, “Ini benar-benar buruk, tapi tenang saja, saya akan selalu disini untuk membantu”.

Kalimat “Jangan pernah menyerah,” lebih baik diganti menjadi, “Terkadang berhenti sejenak adalah pilihan yang baik.”

Kalimat “Aku yakin itu tidak buruk seperti kelihatannya,” lebih baik diganti menjadi “Ini terlalu sulit, tapi aku percaya padamu bahwa kamu bisa mengatasinya.