NAMA Hoegeng nyaris menjelma dongeng. Dongeng Kapolri yang pernah dijokekan Gus Dur: hanya ada tiga polisi jujur; patung polisi, polisi tidur dan Hoegeng.
Isterinya sudah kebal dengan sifat sang suami. Hoegeng lebih cinta polisi daripada isteri. Kalau sudah berseragam, pantang disentuh isteri.
Anaknya mengaku, tidak ada enak-enaknya jadi anak Kapolri. Jangankan sepedamotor, sepeda pun tidak pernah dibelikan. Pendek kata, keluarga tidak boleh menggunakan fasilitas jabatannya.
Di Medan pernah ada cerita, di pinggir jalan depan rumah dinas Hoegeng tampak dipenuhi perabot mewah. Omong-punya omong itu hadiah dari pengusaha untuk ucapan selamat datang bagi pejabat baru. Hoegeng menolak!
Sopirnya bercerita pernah diminta menjualkan sepatu dinas Hoegeng. Ternyata itu dibeli oleh asistennya. Besoknya di kantor, Hoegeng memeluk sang asisten sambil membisiki: maklum Ampera. Ampera adalah jargon di era pemerintahan Soekarno: amanat penderitaan rakyat.
Begitu tidak lagi punya jabatan, Hoegeng rapat sekeluarga. Kita mesti siap, kita tidak punya rumah dan mobil.
Sejak itu ia mencari nafkah sebagai penyiar radio dan melukis. Anehnya, Nababan punya satu lukisan karya Hoegeng. Katanya, “itu lukisan hadiah, jadi saya tidak membelinya.”
Dalam kondisi sekarang, bukankah itu semua serupa dongeng. Cerita yang tidak ada di kenyataan. Kenyataan para petinggi Polri yang diingatkan Presiden Jokowi: jangan hidup bermewah-mewah.
Kenyataan, bagaimana polisi melakukan kekerasan, para petingginya bertindak bagai cowboy membunuh sesama polisi. Petinggi lain bahkan menjadi bandar narkoba.
Saat wafat Hoegeng tidak mau dimakamkan di Taman Makam Pahlawan, tapi di pemakaman umum. Namanya pun ditulis lengkap: Hoegeng Iman Santoso. Hoegeng yang imannya telah sentausa.
Entah mengapa, dongeng Hoegeng tidak menjadi ingatan generasi sesudahnya.***