Selain soal ledakan penduduk yang bikin hutan kian sempit, jelas Karen lagi, “Kehancuran hutan terutama juga dipicu oleh keserakahan.” Kita juga paham bahwa keserakahan ini sebetulnya hanya ketamakan dari segelintir orang bodoh. Saya sebut “orang bodoh” karena tega menghancurkan nadi kehidupan. Hutan hilang. Ekosistem hewan juga turut punah. Tetumbuhan berkurang. Lahan tanah menjadi tandus. Sumber mata air habis. Maka, sungguh petaka, kebodohan yang oleh segelintir malah justru direstui oleh pemangku kekuasaan. Sehingga tepat kalau Karen menyimpulkan, “Kebodohan dan kekuasaan, memang kombinasi yang rawan membawa malapetaka.”
Dan, tentu saja saya juga tak rela hutan di tengah Kota Ungaran itu akan dibabat habis oleh kerakusan segelintir pebisnis dan penguasa ngawur. Saya tak membayangkan Ahimsa dan Rakai kelak hanya bisa mengenang tentang pepohonan pinus di Penggaron yang menawan. Mereka tak lagi menikmati hutan luas dengan pepohonan eksotis yang menyentuh rasa.
Sebagaimana Karen katakan, “Karena desakan kebutuhan, hutan menjadi prioritas paling belakang untuk diselamatkan.” Tampaknya itu pula yang kini terjadi di hutan wisata Penggaron. Penebangan pohon tak diimbangi dengan program pemulihan hutan kembali. Tak ada upaya untuk memperluas hutan (kalau pun mempersempit jelas). Hutan tidak lagi terawat. Bumi perkemahan yang dulu jadi daya tarik pencinta alam, telah pupus. Hilang lenyap karismanya. Area bermain anak-anak, dekat pintu masuk hutan, kini sudah tak layak digunakan.
Syahdan, beberapa kali saya mengajak para buah hati ke hutan, saat itu juga saya tergedor oleh penggundulan hutan. Pertambangan. Proyek jalan tol. Investor raksasa yang bebas melenggang untuk membabat lahan hijau. Dan sebagaimana kasus di Kendeng, akibat kelobaan pemodal yang dilindungi penguasa, masyarakat terkoyak oleh beda kepentingan: yang mendukung proyek dan yang ingin menjaga ibu bumi.
Ya, hutan di tengah kota Ungaran itu pun begitu. Kelobaan pemodal mengancam varietas flora di situ. Penguasa mengamini. Dan kita hanya bisa menadahkan tangan ke atas: Tuhan, ternyata memang betul, manusia ini makhluk zalim, super zalim.
Demikian.
Ungaran, 19 Oktober 2020