Scroll untuk baca artikel
Kontemplasi

Hutan Penggaron dan Kelobaan Pemodal

Redaksi
×

Hutan Penggaron dan Kelobaan Pemodal

Sebarkan artikel ini

BEBERAPA kali saya mengajak sulung dan ragil saya, Ahimsa dan Rakai, ke Hutan Penggaron. Sebuah hutan pinus nan rimbun yang berada di Desa Susukan, Kecamatan Ungaran Timur, Kabupaten Semarang. Hutan ini memiliki luas area sebesar 1.500 hektar.

Dengan berkendara sepeda motor, saya dan anak-anak menyusuri jalan kecil beraspal, membelah hutan seraya memuaskan pandangan pada banyaknya pohon pinus yang berjejer. Di sana sini, sejauh mata memandang, adalah hamparan hijau ilalang, juga pohon-pohon besar yang berumur. Singkat kata, kami menikmati suasana alam yang indah. Suasana hutan dengan dedaunan yang masih rimbun. Batang pohon menjulang tinggi. Akar melintang tak beraturan. Dan, siulan burung-burung liar yang begitu menyentuh hati. Sungguh terasa “gimanaa gitu!”

Ya, beberapa kali saya dan anak-anak ke sana, beberapa kali pula, hati saya menjerit. Menerobos Hutan Penggaron, di tengah rerimbunan pepohonan itu, novel Sarongge turut mengisi benak saya. Tosca Santoso telah memenuhi isi kepala saya dengan kisah arogansi Orde Baru yang membabat hutan gambut Kalimantan menjadi sawah ala Jawa. Novel Sarongge berkisah soal Karen dan Husin, dua aktivis lingkungan.

Adalah Karen, kekasih (dan kemudian jadi istri) Husin, tergabung dalam Ksatria Pelangi, telah mengorbankan diri sebagai pejuang lingkungan hidup. Ia melawan penghancuran hutan di Sumatra. Ia meneliti penghancuran gambut oleh rezim Soeharto di Kalimantan Tengah. Dan, ia turut berbaris membentangkan spanduk raksasa, “Selamatkan Hutan Gambut yang Tersisa.”

Karen Hidayati, nama lengkap perempuan kota yang mendedikasikan diri sebagai pengusung ide-ide besar: penyelamat bumi, itu tertambat pada kesederhanaan Husin, petani di lereng Gunung Gede. Kisah Karen ini benar-benar bikin saya terpesona. Ia berteriak lantang melawan PT Sumber Alam Raya yang mengeduk emas di Sumba.

Orang Sumba punya hak ulayat. Di tanah itu sudah ada keluarga-keluarga, suku yang memiliki. Tidak bisa sembarangan gubernur berikan hak atas tanah itu kepada orang lain. Investor juga harus kompromi, bicara dengan pemilik hak ulayat….” Jawab Karen dalam wawancara “Kabar Konservasi” bersama Green Radio.

Fokus dan kecintaan Karen pada hutan begitu menakjubkan. Dalam tulisannya kepada kekasihnya, Husin, Karen bercerita bahwa “Pulau ini (Jawa) seperti dihukum kelebihan beban. Tiap detik penduduknya bertambah tiga orang. Tiap saat area hutannya makin berkurang.

Padahal dulu, sampai dua abad lalu, “hutan menjadi bagian tak terpisahkan dari hidup masyarakat Jawa. Konon, hutan rimba sebagai bagian dari dirinya. Ada kesatuan kosmologis antara tempat hunian dan hutan rimba.

Selain soal ledakan penduduk yang bikin hutan kian sempit, jelas Karen lagi, “Kehancuran hutan terutama juga dipicu oleh keserakahan.” Kita juga paham bahwa keserakahan ini sebetulnya hanya ketamakan dari segelintir orang bodoh. Saya sebut “orang bodoh” karena tega menghancurkan nadi kehidupan. Hutan hilang. Ekosistem hewan juga turut punah. Tetumbuhan berkurang. Lahan tanah menjadi tandus. Sumber mata air habis. Maka, sungguh petaka, kebodohan yang oleh segelintir malah justru direstui oleh pemangku kekuasaan. Sehingga tepat kalau Karen menyimpulkan, “Kebodohan dan kekuasaan, memang kombinasi yang rawan membawa malapetaka.

Dan, tentu saja saya juga tak rela hutan di tengah Kota Ungaran itu akan dibabat habis oleh kerakusan segelintir pebisnis dan penguasa ngawur. Saya tak membayangkan Ahimsa dan Rakai kelak hanya bisa mengenang tentang pepohonan pinus di Penggaron yang menawan. Mereka tak lagi menikmati hutan luas dengan pepohonan eksotis yang menyentuh rasa.