Semenjak itu, geliat dan gema intelektual Islam menyurut, dan sebaliknya di belahan Eropa berkembang pesat, serta berdampak hingga hari ini. Pola jiwa dan pola pikir melenggang dalam panduan materialisme.
Dari buaian Islam sendiri tidak lagi, meski bukan berarti tidak ada sama sekali, berderet para filsuf yang mengontekstualisasikan dua kitab agung warisan nabi selaku mahkota segenap hidup itu dalam karya saintifik. Paling banter, kita hanya mendapati syarah, penjelas kitab masterpiece sebelumnya.
Seperti tersadar dari buaian mimpi keterpurukan, abad ke-20, seruan-seruan kembali kepada kejayaan Islam berdenting nyaring. Bervarianlah pola pikir menyikapi kerundungan dari para saintis dan filsuf sekuler.
Para inteligensia muslim mulai terbit gereget untuk memetafisikakan (pengetahuan) Barat, yang terlampau jauh terperosok dalam materialisme, agar berwajah Islam. Dan, Muhammad Iqbal, salah satunya, yang mengetengahkan pola kontekstualisasi. Walau, tak sedikit yang mengembangkan semangat puritanisme. Sebuah pola menarik kenyataan dalam bingkai kitab suci, tekstualisasi.
Kini, semangat memaksa realitas ke teks kian nyaring. Dan, tak sedikit disertai horor teror. Suatu perangkat pengetahuan, yang mencoba menteorisasikan keyakinan menjadi kenyataan, tetapi dengan menampik filsafat, atau teori-teori sosial “Barat”.
Pengetahuan menurut mereka cukup dengan mendasarkan teks harfiah, sepenuh literal. Sehingga tampak, ideologi Islam di kutub ini adalah ideologi yang tertutup, ideologi yang kaku.
Oleh sebab itu, sekiranya penting, turut menyemarakkan kembali gerakan kontekstualisasi teks, sebagaimana dulu dikibarkan para ningrat cendekia muslim. Dulu, mereka berorientasi memberadabkan dunia.
Memetafisikakan pandangan hidup dan filsafat Yunani. Kemudian, di abad XXI, saya mendapati Muhammad Zuhri, dan saya yakin bukan satu-satunya, yang mencairkan teks-teks sakral, selaras dengan jiwa zaman, yang rasional filosofis.
Saya menangkap Pak Muh menggulirkan kembali upaya desakralisasi alam, sebagai wujud “jangan menyekutukan Allah” bahwa yang sakral hanya Tuhan, selain-Nya tidak sakral. Saya membaca Pak Muh bahwa dogma normatif agama dan teks-teks suci itu seyogianya diturunkan menjadi konsep filosofis.
Seturut Muhammad Zuhri, sejarawan kondang Kuntowijoyo juga menyerukan betapa mendesak, sebelum angka tahun 2020, para pembelajar muslim menurunkan grand teory Al-Quran dan Sunah menjadi seperangkat ilmu sosial profetik, sebelum menjadi pola gerakan. Kuntowijoyo memandang umat Islam harus punya rumusan teori sosial yang berbasis teks suci.