Scroll untuk baca artikel
Blog

Idul Fitri dan Simbol “Kemenangan”

Redaksi
×

Idul Fitri dan Simbol “Kemenangan”

Sebarkan artikel ini

Idul Fitri sebagai ‘hari kemenangan’, adalah simbol pencapaian dan keberhasilan setiap muslim yang telah menunaikan ibadah Ramadhan, khususnya ibadah puasa.

Tapi ternyata  yang penting itu  bukan sekadar meraih kemenangan, tetapi mempertahankannya. Seringkali, untuk menjadi pemenang tidaklah begitu susah, tapi untuk mempertahankan kemenangan adalah hal yang tidak  mudah.

Oleh karenanya bagi saya, ini ada yang aneh, ada yang perlu kita evaluasi, maka ini menjadi catatan sangat penting bagi saya, tatakala mendapati kejadian-kejadian memalukan di Ramadhan tahun ini oleh pejabat pemerintahan kita. Itulah “kekalahan”, kegagalan kita sebagai bagian dari umat beragama ini dalam menjalani spiritualitas keagamaan kita sendiri.

 Memaknai arti “kemenangan” setelah menjalankan ibadah Ramadhan,  paling tidak ada tiga hal yang perlu kita perhatikan dan jadikan tolak ukur, yaitu:

Pertama, perubahan sikap spiritual. Sikap spiritual ini menjadi pondasi bagi perubahan sikap individu dan sikap sosial. Secara spiritual, seseorang mencapai apa yang disebut sebagai derajat ‘taqwa’ dalam al Quran, sejatinya akan memengaruhi berbagai aspek kehidupannya. Mulai dari dirinya sendiri, kerabatnya hingga lingkungan di sekitarnya.

Kedua, kemampuan menghadirkan sikap positif dan dampak positif dalam kinerja dan kemampuannya. Setelah Idul Fitri, ada banyak manfaat dan fadhilah yang mestinya kita raih setelah melewati proses “training”, penempaan diri, refleksi dan pengelolaan pola hidup.

Pola hidup yang kita kelola ialah mengatur pola makan minum, kebutuhan biologis, dan emosi. Tidaklah dikatakan “menang”, jika pelatihan pola hidup itu tidak memberikan dampak positif bagi diri sendiri dan lingkungan.

Ketiga, terjadinya korelasi dan relevansi kontekstual, antara spiritualitas kegamaan dengan praktik moral kehidupan sehari-hari. Ibadah Ramadhan identik dengan pengalaman spirtual sekaligus sebagai aksi sosial yang direncanakan. Ada pesan moral yang besar dan komprehensif di dalamnya.

Maksudnya, tidaklah mungkin orang berpuasa, tapi perilakunya tetap saja sama seperti orang yang tidak berpuasa. Bertahun-tahun menjalani pendakian spiritual  ibadah Ramadhan, namun saat mencapai puncaknya justru tidak ada sesuatu yang kita raih. Karena secara kontekstual hal itu tidak memberikan makna.

Makanya perbuatan buruk, kejahatan yang pernah dilakukan di masa lalu, kembali terulang. Baik dilakukan kembali oleh pelakunya sendiri, atau kejahatan yang sama dilakukan oleh orang lain. Di situlah spirit keagamaan tidak memiliki konteks dalam kehidupan.