Scroll untuk baca artikel
Blog

Ilusi Stabilitas Sistem Keuangan Indonesia

Redaksi
×

Ilusi Stabilitas Sistem Keuangan Indonesia

Sebarkan artikel ini

Kepemilikan SBN domestik oleh Bank Indonesia meningkat pesat selama era pandemi, terutama karena kebijakan “burden sharing”. Dari senilai Rp273,21 triliun pada akhir Desember 2019 menjadi Rp1.005,73 triliun per 9 November 2021. Porsi kepemilikanya, melesat dari 9,93% menjadi 22,50%.

Kepemilikan SBN domestik oleh asuransi dan dana pensiun juga meningkat, dari Rp471,67 triliun per akhir Desember 2019 menjadi Rp654,20 triliun per 9 November 2021. Secara porsi terhadap total memang menurun, karena kepemilikan BI dan bank yang naik lebih pesat. Namun dilihat dari komposisi industri asuransi dan dana pensiun sendiri, terjadi kenaikan porsi yang berbentuk SBN.

Dari uraian di atas, kebijakan fiskal sangat ekspansif yang meningkatkan penerbitan SBN secara signifikan berdampak besar pada kondisi industri keuangan. SBN menjadi makin dominan sebagai instrumen dalam hal jenis investasi dan bentuk penyaluran dana industri perbankan dan nonbank (IKNB).

Sejauh ini, dinamika tersebut menyumbang positif dalam aspek stabilitas. Pendapatan bank dan IKNB “tertolong” oleh bunga SBN yang diterima, dan tergolong aset atau investasi yang aman. Bank Indonesia pun tampak masih mampu menanggung bagian bebannya. Pemerintah juga masih bisa mengatur arus kas APBN dalam memenuhi kewajibannya.

Akan tetapi, dominasi SBN membuat kondisi likuiditas sistem keuangan menjadi terkendala besar untuk mendukung pemulihan ekonomi. Proses pemulihan ekonomi pada akhirnya membutuhkan “darah segar” berupa likuditas yang mencukupi. Porsi kepemilikan SBN yang besar dari banyak pelaku industri keuangan akan menyulitkan “pencairannya” jika dibutuhkan.

Sebagai contoh, jika perbankan bermaksud mengubah kepemilikan SBN nya menjadi kredit, maka kondisi pasar obligasi belum tentu kondusif. Mekanisme melalui Bank Indonesia akan terkendala kepemilikan yang juga sudah sangat banyak. Serapan pasar SBN oleh pelaku industri keuangan lainnya tampak sudah maksimal. Sementara itu, belum ada tanda-tanda pihak asing bergairah atas pasar obligasi Indonesia.

Skenario yang lebih buruk dapat saja terjadi. Terjadi goncangan eksternal paska pandemi ataupun pandemi susulan. Pemerintah terpaksa menerbitkan SBN dalam jumlah yang masih sangat besar. Daya serap pasar SBN sudah maksimal. Kemampuan Bank Indonesia untuk menanggung beban sudah tak bisa diandalkan. Besar kemungkinan akan ada “komplikasi kondisi” yang belum pernah terjadi sebelumnya.

Dengan demikian, stabilitas sistem keuangan yang saat ini dilaporkan normal oleh KKSK mungkin menyamarkan kerentanan. Kerentanan tidak berarti kondisinya pasti akan berubah menjadi buruk, apalagi krisis. Lebih menggambarkan ketahanan yang melemah dan risiko yang meningkat. [rif]