Scroll untuk baca artikel
Lingkungan

Indonesia Dihadapkan Kelangkaan Air Akibat Stres Air dan Perubahan Iklim

Redaksi
×

Indonesia Dihadapkan Kelangkaan Air Akibat Stres Air dan Perubahan Iklim

Sebarkan artikel ini

PBB memperkirakan, di Afrika Sub-Sahara untuk mengumpulkan air telah kehilangan 40 miliar jam per tahunnya. Itu sama dengan kerja setahun penuh seluruh tenaga kerja di Prancis.

Ketika solusi air diterapkan, pertanian berkelanjutan menjadi mungkin terjadi. Anak-anak kembali ke sekolah ketimbang mengumpulkan air kotor sepanjang hari atau sakit karena penyakit yang ditularkan oleh air. Orang tua menemukan lebih banyak waktu dengan keluarganya, memperluas pertanian minimal ke tingkat berkelanjutan, dan bahkan menjalankan usaha kecil-kecilan.

Badan Kesehatan Dunia (WHO) menunjukkan, untuk setiap US$1 yang diinvestasikan untuk air dan sanitasi, bisa menghasilkan perekonomian antara US$3 hingga US$34.

Kelangkaan Air di indonesia

Berdasarkan data Statista tahun 2020, Indonesia menempati urutan ke-48 dari 157 negara di dunia yang menghadapi tingkat stres air dasar yang sangat tinggi dengan skor 3.61. Itu terjadi akibat irigasi pertanian, industri, serta penarikan pasokan air di perkotaan.

Sedangkan Singapura di urutan pertama karena minimnya sumber daya air alami dan telah bertahun-tahun bergantung pada pasokan negara tetangga, Malaysia. Namun demikian, dalam upaya mandiri terhadap air, Singapura mengembangkan sistem canggih dengan mengubah limbah menjadi air bersih yang dapat memenuhi 40 persen air bersih untuk dapat diminum.

Kelangkaan air juga menjadi ancaman nyata di Indonesia seiring dengan semakin berkurangnya hutan dan dampak perubahan iklim. Dari Rancangan Teknokratik Rencana Pembangunan Menengah Nasional 2020-2024 dari Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), menemukan kelangkaan air di Pulau Jawa, Bali, dan Nusa Tenggara akan meningkat hingga tahun 2030. Proporsi luas wilayah meningkat dari 6 persen di tahun 2000 menjadi 9,6 persen di tahun 2045. Begitu pun dengan kualitas air yang diperkirakan mengalami penurunan.

Mengutip Institute for Essential Service Reform (IESR), Guru Besar Fakultas Ekonomi UI, Emil Salim mengatakan, para pembuat kebijakan di tanah air perlu menetapkan kebijakan yang mampu menurunkan emisi karbon dan mencapai netral karbon pada tahun 2050 demi kelangsungan hidup generasi mendatang.

Manajer Program Ekonomi Hijau, Lisa Wijayani menyebut, Indonesia masuk dalam kategori highly insufficient atau sangat tidak memadai dalam mengurangi emisi gas rumah kaca (GRK).

Belum lama ini juga, Wakil Presiden, Ma’ruf Amin mengingatkan perlu adanya kebijakan global yang dapat diterima dan masuk akal sebagai kunci kebijakan nasional sumber daya air agar bisa berkontribusi bagi kebijakan internasional.