Scroll untuk baca artikel
Kontemplasi

Iqbal, Filsuf dari Timur

Redaksi
×

Iqbal, Filsuf dari Timur

Sebarkan artikel ini

BARISAN.CO – Belum sepenuhnya paham. Masih lamat-lamat, padahal sudah tiga kali saya ulang. Jadi ingat seorang dosen filsafat, tatkala membedah buku ini, mengatakan bahwa pemikiran pujangga Islam itu memang sulit dipahami. Ya, inilah buku itu, Rekonstruksi Pemikiran Religius Dalam Islam. Buah pena yang pada mulanya merupakan kumpulan ceramah yang disampaikan pada tahun 1928 di perguruan-perguruan tinggi di India. Dan, sosok yang dimaksud tak lain adalah Sir Muhammad Iqbal.

Muhammad Iqbal lahir di Sialkot, Punjab, 9 November 1877, dikenal sebagai penyair, filosof, dan bapak spiritual Pakistan. Busthomi Muhammad Said, dalam buku Pembaharu dan Pembaharuan Dalam Islam, menyejajarkan Iqbal dengan Sayyid Khan dan Muhammad Abduh sebagai kelompok intelektual pertama modernisme Islam.

Bahkan Iqbal disebut satu-satunya orang yang tak tertandingi oleh siapa pun pada masanya dalam hal kedalaman tentang filsafat Barat, peradaban, dan kehidupannya. Berkat Iqbal, kemilau Barat yang penuh pesona itu memudar.

Dalam beberapa alinea di bukunya, Iqbal menyatakan bahwa mendekati Al-Quran dengan berkiblat Barat itu berbahaya. Filsafat Yunani, meski dulu dipakai para filsuf muslim, tidak memadai lagi untuk menyusuri keagungan Islam.  

Hal itu tak bisa dipungkiri, Iqbal sungguh mumpuni di bidang filsafat. Sebab pada 25 September 1905, Iqbal tiba di Cambridge untuk mendalami filsafat. Kemudian Juli 1907, Iqbal menyelesaikan disertasi Ph.D-nya, Perkembangan Metafisika Persia dari Universitas Munich, Jerman.

Nah, saya ulik sekilas kedalaman Rekonstruksi Pemikiran Religius Dalam Islam. Buku ini oleh banyak kalangan disebut sebagai kitab filsafat yang mencerminkan usaha Muhammad Iqbal untuk membangun kembali filsafat Islam.

Di sini Iqbal membahas tentang pengetahuan yang diperoleh melalui pengalaman indrawi dan pengetahuan yang diperoleh melalui pengalaman religius. Iqbal juga membicarakan hakikat jiwa, kebebasan dan keabadiannya.

Begitu juga tentang ketuhanan, kenabian, prinsip perubahan, dan dinamika alam raya dan masyarakat.

Dari kesekian itu, saat menulis di sini, saya terkesan pembahasan tentang alam. Ia mendasarkan pada Al-Quran, pertama-tama alam semesta dicipta bukan untuk tujuan main-main.

Tidaklah Kami ciptakan langit dan bumi serta segala isinya yang ada di antara keduanya itu untuk bermain-main. Kami ciptakan keduanya itu dengan maksud tertentu, tapi kebanyakan mereka tidak mengetahui.” (Al-Dukhan: 38-39).

Kedua, alam semesta ini adalah realitas yang harus direnungkan. “Sebenarnya dalam penciptaan langit dan bumi serta pergantian malam dan siang, terdapat tanda-tanda bagi mereka yang berpikir. Mereka yang mengingat Tuhan ketika berdiri, ketika duduk, dan berbaring, serta merenungkan penciptaan langit dan bumi itu seraya mengatakan: ‘O Tuhan kami! Tidaklah sia-sia Kau ciptakan semua ini’.” (Ali Imran: 190-191).

Ketiga, alam semesta disusun sedemikian rupa sehingga ia mampu berkembang. “Ia (Tuhan) menambahkan ke dalam ciptaannya itu apa yang dikehendaki-Nya.” (Fathir: 1).

Keempat, alam semesta bukanlah cetakan atau produk yang sudah selesai, yang tidak bergerak, dan tidak berubah. “Katakan, jelajahilah bumi, lalu perhatikanlah bagaimana Allah memulai penciptaan itu, kemudian Allah menjadikannya ciptaan lain.” (Al-‘Ankabut: 20).

Pendek kata, Iqbal mengoreksi kesalahkaprahan kita tentang alam, bahwa pengetahuan tentang alam sejatinya adalah pengetahuan tentang perilaku Tuhan. Pengamatan kita terhadapnya, alam, menjadi semacam upaya kita menjalin kemesraan kepada Allah, sang Ego Tertinggi.