ISLAM itu satu, ungkap Kuntowijoyo. Namun, dihiasi oleh sistem simbol yang sedemikian banyak. Sebagaimana Cassirer, kerap dikutip Kuntowijoyo, bahwa sistem simbol itu adalah bahasa, sastra, seni, sejarah, filsafat, mitologi, ilmu, festival, dan upacara.
Sebagai hiasan, simbol-simbol itu kini telah berkembang sedemikian variasi. Sehingga, acap kali banyak yang lupa mana hakikat, mana hiasan. Bahwa hakikat Islam tidak hanya disimbolkan dengan Bahasa Arab. Sebab di sana sini, setelah Islam berkembang meluas, dua warisan Nabi saw. tumbuh jadi pelbagai macam rupa.
Islam tidak hanya tampil dalam bahasa Al-Ghazali, tapi juga tumbuh dalam bahasa Melayu, dalam puisi-puisi Hamzah Fansuri. Tidak hanya menjulang dalam sejarah Bani Umayyah dan Abbasiyyah, tapi juga dalam sejarah Pasai, sejarah Perlak, dan Demak.
Nah, waktu Islam masuk ke Indonesia, dalam analisa Kuntowijoyo, mengalami empat gejala kebudayaan: perumitan, pemfeodalan, pendesaan, dan pemetanian.
Perumitan terjadi ketika Islam yang tampil ke panggung dunia Arab dalam wajah sederhana, begitu merambah tanah Indonesia, terutama Jawa, berkembang menjadi semakin jauh. Ada pemisahan ilmu agama dengan ilmu umum, salah satunya.
Pemfeodalan terjadi adanya atribut-atribut feodal, seperti sebutan Kanjeng pada Nabi saw. dan Gusti pada Tuhan. Dalam sastra Jawa, obrolan antara sahabat dengan Nabi, akan tersaji dalam bahasa Jawa halus (krama inggil), dan Nabi menggunakan bahasa ngoko.
Pendesaan terjadi karena Islam benar-benar memasuki alam pedesaan. Islam yang dari awal lahir dan tumbuh di kota Mekah dan Madinah, dua kota yang menjadi jalur sutera dunia, Ketika tiba di tlatah Jawa, benar-benar di-desa-kan. Islam yang mobile, terbuka, dan kosmopolit, jatuh menjadi kebudayaan yang menetap, tertutup, dan kedaerahan.
Pemetanian, terutama di Jawa Tengah, budaya petani yang serba paguyuban, merasuki wajah Islam yang menjunjung kebebasan individu. Budaya sambatan, gotong royong, meniscayakan setiap orang harus ikut, kalau tidak akan dapat sanksi sosial. Jadi, pemetanian di sini dalam arti kebudayaan Islam menjadi participatory culture. Orang harus ikut kenduri, selamatan, bersih desa, dan seterusnya, yang jelas-jelas tidak ada kebebasan individual.
Lantas? Ya, ada kebutuhan yang tak kalah mendesak untuk, pertama, menegaskan kembali Islam itu sederhana. Sehingga, Islam bisa diterima di mana-mana. Dan, rumusan yang dipakai, “Jangan memutlakkan yang relatif, dan jangan merelatifkan yang mutlak.” Besar harapan, umat bisa membedakan antara agama dan kebudayaan. Hakikat dan hiasan, yang mutlak dan yang relatif.
Kedua, menjadikan Islam sebagai agama yang terbuka. Betapa keterbukaan serasa menyusut di ruang gerak Islam dewasa ini. Islam kerap dilantangkan sebagai agama yang hanya pas dengan bahasa Arab, dan harus mengadopsi kebudayaan Timur Tengah. Padahal, konon Rasul saw. menganjurkan umat untuk belajar ilmu ke Cina. Kemudian generasi tabi’in dan setelahnya, umat belajar filsafat dari Yunani, Persia, dan India.
Ketiga, mengukuhkan jati diri. Hal ini penting juga kita upayakan dengan menginventarisasi, mendokumentasi, dan melestarikan simbol-simbol Islam. Sejarah misalnya, sebagai salah satu aspek dari simbol, serasa merana, karena pahlawan-pahlawan muslim tidak dikenal kemuslimannya dalam masa 1945-1950. Baru-baru ini saja, ada greget seusai film Sang Kiai rilis di pasaran, tapi selebihnya, sejarah Islam masih kurang.
Sejarah Islam masih kental dengan gerakan-gerakan anti-NKRI. Seperti DI/TII, Gerakan NII, Gerakan Aceh Merdeka, Peristiwa Tanjung Priok, Malari, dan lain sebagainya. Islam seolah anti negara, seolah pemberontak.