Scroll untuk baca artikel
Kolom

Jebolnya Benteng Utama Demokrasi

Redaksi
×

Jebolnya Benteng Utama Demokrasi

Sebarkan artikel ini
Jebolnya Benteng Utama Demokrasi
Imam Trikarsohadi

Efeknya, implementasi pencalonan lewat parpol sering terdistorsi oleh praktik politik yang bukan saja tidak mengakomodasi aspirasi publik dalam penentuan calon, namun juga terjadi manipulasi aspirasi atas nama tawa-menawar.

Pencalonan melalui parpol bukan lagi menjadi ajang kontestasi kapasitas dan kapabilitas, tetapi lebih pada ajang pertarungan siapa dapat apa.

Dengan model rekrutmen seperti ini sulit mengharapkan parpol dapat mengakomodir figur-figur potensial masyarakat, apalagi jika tidak memiliki modal sosial dan modal finansial yang cukup.

Dengan demikian, partai politik sebagai pilar demorkasi acapkali ngawur dalam menjalankan fungsinya sebagai sumber kepemimpinan, yaitu melakukan kaderisasi dan pembinaan karier politik para kader sebagai calon pemimpin rakyat .

Paprol juga cenderung gagal dalam menciptakan sistem rekrutmen yang demokratis dan terbuka. Parpol saat ini cenderung lebih berfungsi sebagai ‘kendaraan’ bagi kelompok masyarakat yang punya power kekuasaan dan berkantong tebal.

Pola oligarki elit yang berkembang di dalam lingkungan partai politik di Indonesia ini melahirkan sejumlah persoalan. Implikasinya akan melahirkan persaingan internal elit partai.

Puncak persaingan elit parpol yaitu terjadi pertikaian yang tidak hanya menghambat kinerja partai sebagai agregator kepentingan masyarakat tetapi melahirkan perpecahan kepengurusan parpol di semua tingkatan.

Persoalan lain yang timbul akibat oligarki partai adalah parpol gagal membangun mekanisme kerja yang berbasiskan aturan dan prosedur yang jelas dibarengi dengan otonomi dalam proses pengambilan keputusan, misalnya tentang penetapan calon kepala daerah.

Terbukti sampai saat ini dalam proses penetapan calon pilkada masih sangat kuat pengaruh DPP di internal masing-masing parpol, parpol di tingkat DPD dan DPW harus menunggu sikap resmi DPP terhadap kandidat kepala daerah yang diusung.

Akibatnya, potensi calon yang berasal dari daerah pemilihan sering kali dikalahkan oleh keputusan DPP yang mangajukan calon rekomendasi dari Jakarta.

Oligarki elit parpol yang memutuskan untuk mencalonkan cakada dari daerah lain yang bukan berasal dari dari daerahnya akan melemahkan kaderisasi, selain itu juga melemahkan kepengurusan partai di daerah secara perlahan.

Akibatnya masyarakat dan kader-kader organik partai menjadi enggan untuk bergabung dan setengah hati mengurus partai, karena kaderisasi yang menjadi modalitas dalam rekrutmen menjadi tidak bermakna.

Puncaknya masyarakat semakin apatis terhadap partai politik, karena sudah kehilangan ruh demokrasi yaitu “dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat”, partai hanya berorientasi sekedar menang pilkada dan segelintir elit yang akan merasakan nikmatnya.