Pola oligarki elit yang berkembang di dalam lingkungan partai politik di Indonesia ini melahirkan sejumlah persoalan. Implikasinya akan melahirkan persaingan internal elit partai.
Puncak persaingan elit parpol yaitu terjadi pertikaian yang tidak hanya menghambat kinerja partai sebagai agregator kepentingan masyarakat tetapi melahirkan perpecahan kepengurusan parpol di semua tingkatan.
Persoalan lain yang timbul akibat oligarki partai adalah parpol gagal membangun mekanisme kerja yang berbasiskan aturan dan prosedur yang jelas dibarengi dengan otonomi dalam proses pengambilan keputusan, misalnya tentang penetapan calon kepala daerah.
Terbukti sampai saat ini dalam proses penetapan calon pilkada masih sangat kuat pengaruh DPP di internal masing-masing parpol, parpol di tingkat DPD dan DPW harus menunggu sikap resmi DPP terhadap kandidat kepala daerah yang diusung.
Akibatnya, potensi calon yang berasal dari daerah pemilihan sering kali dikalahkan oleh keputusan DPP yang mangajukan calon rekomendasi dari Jakarta.
Oligarki elit parpol yang memutuskan untuk mencalonkan cakada dari daerah lain yang bukan berasal dari dari daerahnya akan melemahkan kaderisasi, selain itu juga melemahkan kepengurusan partai di daerah secara perlahan.
Akibatnya masyarakat dan kader-kader organik partai menjadi enggan untuk bergabung dan setengah hati mengurus partai, karena kaderisasi yang menjadi modalitas dalam rekrutmen menjadi tidak bermakna.
Puncaknya masyarakat semakin apatis terhadap partai politik, karena sudah kehilangan ruh demokrasi yaitu “dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat”, partai hanya berorientasi sekedar menang pilkada dan segelintir elit yang akan merasakan nikmatnya.
Dampak lebih jauh dari oligarki elit parpol dan tidak adanya keterbukaan dalam proses seleksi calon adalah menjamurnya praktek politik jual beli. Realitas ini dialami para bakal calon bahwa faktor terpenting untuk mendapatkan “perahu” adalah kemampuan finansial kandidat untuk berbagai jenis pengeluaran mulai dari biaya “tiket” ke gabungan partai pengusung, biaya mobilisasi massa, biaya saksi dan operasional lainnya.
Kedepan, untuk menghilangkan oligarki elit politik dalam penetapan calon pilkada, perlu dibentuk peraturan hukum yang menjadi dasar bagi parpol atau gabungan parpol melakukan seleksibakal calon kepala daerah ditingkat partai politik.
Setidaknya rugulasi itu harus mengatur tentang; bagaimana system seleksi (apakah menggunakan metode konvensi atau lainnya ?, siapa panitia seleksinya?, bagaimana standart penilaian (apakah menggunakan lembaga lain diluar partai) ?, dan keharusan proses seleksi dilakukan secara demokratis dan terbuka.
Mekanisme demokratis dan terbuka juga harus dijelaskan dengan detail yang artinya parpol membuka diri, menginformasikan dengan benar dan jujur, memperhatikan pendapat dan tanggapan masyarakat serta mempertanggung jawabkan proses dan hasil seleksinya.
Saat ini masyarakat pada umumnya di fait acompli / fetakompli oleh partai dan gabungan partai politik dalam penetapan pasangan calon kepala daerah.
Masyarakat sesungguhnya tidak mengetahui bagaimana proses seleksi calon oleh parpol dan mengapa partai tertentu memilih untuk mencalonkan tokoh tertentu sebagai calon kepala daerah.
Kesimpulannya, hingga menjelang Pilkada serentak 2024,Parpol sebagai benteng utama demokrasi telah jebol, maka masyarakat sebagai benteng terakhir dituntut harus cerdas dalam menentukan pasangan calon kepala daerahnya. []