Scroll untuk baca artikel
Kontemplasi

Jihad Nafs, Jihad Akbar

Redaksi
×

Jihad Nafs, Jihad Akbar

Sebarkan artikel ini

MEMANG, selalu ada dimensi konsekuensi. Rukun Islam, sedari mula sebagai ibadah personal, tidak bisa dipisahkan dari ikutannya untuk kerja kemanusiaan, amal kebajikan, amal saleh. Puasa, sebagai salah satu rukun, yang dijalankan umat Islam di setiap bulan ramadan adalah berkaitan dengan menahan diri. Dan, persoalan ketidakmampuan menahan diri, ternyata menjadi pangkal kemerosotan moral dan spiritual sebuah masyarakat, bahkan peradaban.

Almarhum Cak Nur pernah mengungkap bahwa sumber segala potensi yang mendorong tindak pelanggaran adalah godaan terhadap makan, minum, dan seks. Ketiganya merupakan pangkal hawa nafsu yang kemudian menjadi formula fikih puasa: hal-hal yang harus ditahan, atau yang membatalkan puasa.

Dan, ketiga godaan tersebut mengerucut pada satu hal: harta materi. Nah, bulan ramadan merupakan bulan refleksi, apakah harta yang kita miliki diperoleh dengan cara-cara yang benar, dan apakah harta dimiliki sudah dipergunakan sebagaimana anjuran agama.

Siapa pun kita, jika tidak mau berefleksi, kemungkinan besar akan mengumbar harta sekadar untuk memuaskan kebutuhan perut dan bawah perut (kemaluan). Jika demikian, akhirnya mala tak terhindarkan. Segala praktik dan amalan tak terpuji pun marak di masyarakat.

Dalam Islam, berbeda dengan konsep kapitalisme, harta harus dicapai dan diperoleh serta dipergunakan dengan jalan dan cara-cara serta tujuan yang benar. “Dan, janganlah saling memakan harta secara batil, dan jangan pula mempergunakan kelicikan hukum dengan tujuan agar kalian dapat memakan—dengan dosa dan dengan sengaja—apa pun yang sebenarnya merupakan hak orang lain.” (Al-Baqarah: 188).

Islam mengakui kepemilikan harta, memang, tetapi tidak seabsolut paham kapitalisme. Bahwa harta diberikan kepada manusia hanya sebagai perwakilan, sekadar dipergilirkan, sehingga tidak mutlak memiliki seluruhnya. “Berimanlah kepada Allah dan Rasul-Nya, dan nafkahkanlah bagi orang lain Sebagian dari apa yang telah Dia amanati kepada kalian: sebab, siapa pun di antara kalian yang telah meraih iman dan menafkahkan secara sukarela [di jalan Allah] akan mendapat balasan yang besar.” (Al-Hadid: 7).

Muhammad Asad, di kitab The Message of the Quran, menjelaskan bahwa semua yang “dimiliki” manusia tidak lain hanyalah merupakan amanat dari Allah, karena “segala yang ada di lelangit dan di bumi adalah milik-Nya”, sedangkan manusia hanya diizinkan menggunakannya.

Dan, puasa, sekali lagi, tidak bisa dipisahkan dari dimensi sosial. Bahwa pengendalian harta seyogianya mengarah kepada ketakwaan. Mengarah kepada kesadaran bahwa Allah senantiasa menjangkau dan mengawasi kita. Sehingga kita tidak bisa bermain-main asal senang, asal puas, dan asal terpenuhi. Kita tidak bisa menuntaskan dorongan akan makan, minum, dan seks di saban tempat, dan sembarang waktu.

Momen puasa menjadi momen berefleksi bahwa dorongan yang ditimbulkan oleh makan, minum, dan seks, adalah dorongan dari hawa nafsu, yang sekira tak terkelola, niscaya menjatuhkan martabat manusiawi kita. Hawa nafsu yang tak terkontrol akan memerosotkan spiritual kita. Akan menjerembapkan moral kita ke dalam lumpur yang sungguh hina.

Itulah kenapa, jihad nafs itu teramat inti dalam ajaran agama (Islam). Memerangi dorongan hawa nafsu merupakan perjuangan seumur hidup, dan menurut sabda Nabi saw. sebagai perjuangan akbar. “Kita baru saja pulang dari jihad kecil (Perang Badar) dan akan masuk ke jihad besar, yakni memerangi hawa nafsu.” Maka, sungguh beruntung kita masih menemu bulan ramadan. Kita bisa menjalani ritual pengendalian diri, ritual menjaga jarak dari segala yang mengarah pada pemenuhan makan, minum, dan seks.