Barisan.co – “Sentimen positif publik sebesar 50,1 persen terhadap Presiden Joko Widodo tidak cukup populer untuk menjalankan kebijakan yang tidak populer, kontroversial atau bahkan berdampak negatif terhadap masyarakat luas,” kata Didik J Rachbini, pakar ekonomi politik pada Webinar INDEF tentang “Analisis Sentimen tentang Institusi, Perilaku & Kinerja Pemerintah”, yang dilaksanakan Minggu (15/11/2020).
Pada webinar yang diikuti para jurnalis tersebut Didik J Rachbini juga menyatakan dari sistem Big Data INDEF Datalyst Center untuk analisis sentimen tentang kinerja pemerintah periode Juli-September 2020, diketahui terdapat 1,22 juta percakapan di media sosial terkait Jokowi.
Tidak kurang dari 49,9 persen mempunyai sentimen negatif dari total 1,22 juta juta percakapan di media sosial, dengan kata kunci Joko Widodo, Presiden Jokowi, Jokowi.
“Dengan sentimen negatif yang mencapai separuh dari sentimen publik di media sosial, mengindikasikan bahwa Presiden tidak cukup mempunyai modal besar untuk membuat kebijakan-kebijakan yang tidak populer seperti UU Cipta Kerja, Pelemahan KPK, Utang luar negeri dan sebagainya,” sambungnya.
Padahal di negara maju, hanya pimpinan negara yang mempunyai sentimen positif paling tidak 80 persen yang dapat membuat kebijakan tidak populer. Itupun harus didukung oleh komunikasi publik yang efektif, dan sosialisasi gencar dengan mengeluarkan biaya yang tidak sedikit.
“Jika terus dipaksakan membuat kebijakan yang tidak populer dan ditentang publik, maka ke depan negara hanya akan mengurusi konflik dan pertentangan yang tidak kunjung selesai. Ironisnya, pertentangan yang telah terjadi dan yang akan terjadi sesungguhnya berasal dan bahkan diciptakan dari lembaga kepresidenan, sikap presiden, kebijakan yang diambil, dan keputusan politiknya,’’ jelasnya lagi.
Terdapat lima isu dan masalah utama yang menyebabkan sentimen negatif publik terhadap Presiden Jokowi cukup tinggi, yakni pertama, isu RUU Cipta Kerja yang tidak populer, sembrono, dan salah kaprah.
Kedua, masalah penanganan pandemi yang tidak memadai. Ketiga, isu dinasti politik ikut Pilkada. Keempat, pelaksanaan Pilkada di masa pandemi yang berisiko tinggi. Dan kelima, masalah utang luar negeri yang naik pesat.
“Kelima isu, masalah dan kebijakan tersebut dianggap baik, dan tidak bermasalah oleh pemerintah, sehingga terus saja dijalankan dan dipaksakan, tetapi ditolak dan mendapat sentimen negatif dari publik seperti pada data 1,22 juta percakapan dari riset Big Data INDEF,” jelas Didik J Rachbini.
Posisi Wakil Presiden KH Ma’ruf Amin pada temuan riset tidak populer sama sekali karena sangat sedikit perbincangan tentang kiprah wakil presiden, mengenai sikap, kebijakan, padangan, pemikiran dan kesehariannya.
Perbincangan terkait wapres hanya 104,9 ribu percakapan, sangat jauh di bawah intensitas perbincangan terkait presiden. Hal itu mengindikasikan wakil presiden terlihat seperti ban serep pada masa orde baru.
“Hal itu dapat dimaklumi, karena penentuan calon wakil presiden di masa lalu bersifat tertutup, elitis dan kurang mendengar pandangan dan aspirasi publik,” papar Didik J Rachbini.
Riset Big Data INDEF juga menyajikan temuan tujuh nama menteri kabinet paling populer yakni Prabowo Subianto (141,5 ribu percakapan), Terawan Agus Putranto (103 ribu percakapan), Erick Tohir (100,3 ribu percakapan), Fachrul Razi (99,9 ribu percakapan), Tito Karnavian (64,8 ribu percakapan), Menteri Pendidikan (60,5 ribu percakapan), dan Menteri Polhukam (58,3 ribu percakapan).
Sementara separuh anggota kabinet yang tidak populer dan tidak banyak diperbincangkan adalah: Gusti Ayu Darmavati, Zainudi Amali, Agus Suparmanto, Budi Karya, Abdul Halim Iskandar dan Wishnutama.