Hal ini disebabkan oleh fakta bahwa di seluruh dunia terdapat lebih sedikit pemilihan umum yang bebas dan adil, lebih sedikit kebebasan berpendapat dan berkumpul, serta semakin terkikisnya pemisahan kekuasaan.
Sebagai ilustrasi, Tunisia, misalnya negara yang telah lama dianggap sebagai mercusuar harapan terakhir bagi gerakan demokratisasi Musim Semi Arab itu, kini menghadapi otokrasi baru. Presiden Tunisia Kais Saied telah memerintah melalui dekrit sejak ia menggulingkan parlemen dan pemerintah pada Juli 2021 dan menangguhkan sebagian konstitusi. Baru-baru ini, Saied membubarkan Dewan Kehakiman Tertinggi, yang seharusnya menjamin independensi peradilan di negara tersebut.
Dalam konteks ini, terkait Indonesia, The Economist Intelligence Unit (EIU), menyebutkan indeks demokrasi Indonesia mencatat skor terendah dalam 14 tahun terakhir. Indonesia menduduki peringkat ke-64 dunia dalam Indeks Demokrasi yang dirilis EIU dengan skor 6.3.
Meski dalam segi peringkat Indonesia masih tetap sama dengan tahun sebelumnya, namun skor tersebut menurun dari yang sebelumnya 6.48 dan Indonesia dikategorikan sebagai negara dengan demokrasi cacat, dengan skor terendah dalam 14 tahun terakhir.
Adanya kebijakan-kebijakan penempatan TNI/Polri aktif pada jabatan sipil di luar ketentuan UU TNI/Polri pada masa pemerintahan Jokowi juga menggambarkan keengganan (unwilling) pemerintah dalam reformasi TNI/Polri secara simultan dan berkelanjutan.
Selain itu, ketimpangan ekonomi masyarakat Indonesia meningkat. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, rasio gini yang mengukur ketimpangan pengeluaran ini naik menjadi 0,384 per Maret 2022. Dan rasio gini ini meningkat 0,003 poin dari September 2021 yang sebesar 0,381.
Demikian halnya Turki, dimana Ankara termasuk Negara yang paling banyak mengalami kerugian dalam sepuluh tahun terakhir di bawah Presiden [Recep Tayyip] Erdogan, yang sebenarnya dimulai sebagai mercusuar harapan.
Pemisahan kekuasaan dan partisipasi sangat terbatas di Turki kini, sehingga dua tahun lalu berbagai lembaga internasional harus mengklasifikasikan Turki sebagai Negara otokrasi, dan penilaian ini tidak berubah sejak saat itu.
Selain itu, ada tren yang mengkhawatirkan bahwa banyak negara demokrasi yang sebelumnya telah mapan, kini telah tergelincir ke dalam kategori “demokrasi yang rusak ata buruk,”.
Misalnya, melalui jalur etno-nasionalis Perdana Menteri Narendra Modi di India dan pemerintahan otoriter sayap kanan Presiden Jair Bolsonaro di Brasil dan Presiden Rodrigo Duterte di Filipina, telah merusak demokrasi di negara masing-masing dengan politik sectarian, memperkuat segregtasi social, polarisasi politik, dan mengikis norma-norma demokrasi.