Scroll untuk baca artikel
Opini

Jokowi, Kemerosotan Reformasi dan Kemunduran Demokrasi Global

Redaksi
×

Jokowi, Kemerosotan Reformasi dan Kemunduran Demokrasi Global

Sebarkan artikel ini

Oleh: Herdi Sahrasad

SKANDAL polisi Ferdy Sambo dan demonstrasi besar kaum buruh mendesak pencabutan UU Cipta Kerja/Omnibus Law merupakan sinyal puncak gunung es atas kebekuan dan kemunduran demokrasi di Tanah Air kita di bawah Presiden Joko Widodo (Jokowi).

Sekitar dua tahun silam, The Economist (2020) memaparkan UU Cipta Kerja/Omnibus Law  secara negative dengan menyebut UU ini sebagai kebijakan yang justru memotong beberapa warisan berharga dari reformasi di Indonesia, antara lain: resentralisasi wewenang, ”cutting the institutions”, memotong institusi-institusi warisan reformasi.

Memang ada itikad dan niat baik Presiden Jokowi untuk memotong ”red tapes”, birokrasi yang rumit, untuk memuluskan jalan bagi para investor, tetapi yang terjadi adalah rezim Jokowi justru membuat kebijakan yang memotong beberapa warisan penting reformasi 1998: melemahkan KPK, ”menjinakkan” Mahkamah Konstitusi, melemahkan independensi Bank Indonesia, menekan suara-suara kritis dengan UU ITE, dan melakukan resentralisasi kekuasaan. (Ulil Abshar Abdalla, 2020).

The Economist juga tandas menyebut bahwa kebijakan pemerintah Jokowi-Maruf sebagai kembalinya ”otoritarianisme” ala Soeharto (”Indonesia’s lurch back into authoritarianism”). Ternyata tidak hanya di Indonesia, demokrasi mengalami kemunduran dan reformasi dikorupsi.

Di berbagai belahan dunia, gejala yang serupa sedang berlangsung. Sungguh menyedihkan bahwa dunia diwarnai dengan kemunduran demokrasi  yang serius.

Kebebasan dibatasi, pemisahan kekuasaan dihapuskan,  dan Trias Politika tidak dijalankan sebagaimana mestinya, malah dimanipulasi dan dikadali.

Penulis berdua aktivis Eko S Dananjaya bersama Bang Hariman Siregar dan Bang Adnan Buyung Nasution dll barengan ratusan mahasiswa menyerbu dan menduduki Gedung DPR/MPR pada Mei 1998. Para korban reformasi sudah berjatuhan waktu itu, nyawa dan harta melayang ke cakrawala. 

Sungguh ironis bahwa Jokowi yang tidak pernah berjuang untuk menumbangkan Orde Baru Presiden Soeharto tahun 1998, ketika berkuasa justru mencampakkan Nawacita, dan lebih menikmati kuasa demi kepentingan sesaatnya, suatu royan revolusi rendahan.

Melemahkan  Negara Hukum Dan Sistem Yang Korup

Untuk pertama kalinya sejak 2004, Indeks Transformasi Bertelsmann (BTI), Jerman,  mencatat lebih banyak negara otokratis daripada negara demokratis.

Dari 137 negara berkembang dan transisi yang diteliti, hanya 67 negara yang masih dianggap sebagai negara demokrasi. Jumlah otokrasi telah meningkat menjadi 70 negara.

Hauke ​​Hartmann, manajer proyek BTI di Bertelsmann Foundation, mengungkapkan, realitas itulah  hasil transformasi politik terburuk yang pernah diukur dalam 15 tahun kerja lembaganya.

Hal ini disebabkan oleh fakta bahwa di seluruh dunia terdapat lebih sedikit pemilihan umum yang bebas dan adil, lebih sedikit kebebasan berpendapat dan berkumpul, serta semakin terkikisnya pemisahan kekuasaan.

Sebagai ilustrasi, Tunisia, misalnya negara yang telah lama dianggap sebagai mercusuar harapan terakhir bagi gerakan demokratisasi Musim Semi Arab itu, kini  menghadapi otokrasi baru. Presiden Tunisia Kais Saied telah memerintah melalui dekrit sejak ia menggulingkan parlemen dan pemerintah pada Juli 2021 dan menangguhkan sebagian konstitusi. Baru-baru ini, Saied membubarkan Dewan Kehakiman Tertinggi, yang seharusnya menjamin independensi peradilan di negara tersebut.

Dalam konteks ini,  terkait Indonesia, The Economist Intelligence Unit (EIU), menyebutkan indeks demokrasi Indonesia mencatat skor terendah dalam 14 tahun terakhir. Indonesia menduduki peringkat ke-64 dunia dalam Indeks Demokrasi yang dirilis EIU dengan skor 6.3.