BARISAN.CO – Ketua Departemen Ekonomi & Pembangunan, DPP Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Farouk Abdullah Alwyni menyebut kebijakan sertifikat vaksin yang diberlakukan di berbagai wilayah di Indonesia sejak pertengahan Agustus 2021 dapat mempersulit pemulihan ekonomi nasional.
Kebijakan yang berlaku sekarang ini seolah melupakan banyak aspek penting untuk dipertimbangkan. Padahal, menurut Farouk, ada hal-hal yang perlu dilihat lebih jauh, di antaranya: Pertama persoalan virus Covid-19 itu sendiri; Kedua terkait efikasi (daya lindung) vaksin; Ketiga kontroversi kewajiban vaksin (mandatory vaccine), dan; Keempat kebijakan vaksinasi dari negara-negara besar yang bisa dijadikan model.
“Untuk yang pertama, dengan munculnya varian delta dan kemungkinan varian-varian lainnya, hal ini mulai menimbulkan pertanyaan terkait apakah ‘herd immunity’ bisa tercapai,” jelas ekonom yang masuk dalam daftar 500 orang yang berpengaruh dalam pengembangan ekonomi Islam ini kepada Barisanco, Minggu (10/10/2021).
Salah satu yang menjadi alasan kekhawatiran itu adalah masih ditemukannya kelompok yang tetap terpapar meski sudah vaksinasi.
“Hal ini membuat Direktur Oxford Vaccine Group, Profesor Sir Andrew Pollard dalam menyatakan herd immunity sebagai mythical (mistis) dan menyarankan agar tidak dijadikan desain kebijakan vaksinasi bagi Inggris dan juga dunia,” jelas mantan eksekutif senior Islamic Development Bank, Jeddah, Saudi Arabia ini.
Kedua, terkait efikasi dari vaksin, Farouk memperingatkan terkait munculnya varian baru yang tidak mempan vaksin seperti Lambda dan B.1.62.1. Ini menimbulkan pertanyaan terkait efektivitas vaksin-vaksin yang ada sekarang ini.
Di Belgia, Farouk mencontohkan, ada 7 orang tewas oleh varian B.1.62.1 padahal semuanya telah tervaksin secara penuh.
“Persoalan yang ada adalah vaksin yang beredar sekarang tidak diciptakan untuk menghadapi varian yang bermunculan tersebut. Intinya, ketimbang penambahan dosis, seharusnya ada vaksin baru yang bisa berhadapan dengan virus baru ini,” kata Farouk.
Poin ketiga, Farouk menyebut bahwa kewajiban vaksin (mandatory vaccine) tidak didukung oleh pendekatan ilmiah yang kuat. Ia mengacu pada hasil analisis Dr. Marty Makari, profesor di Johns Hopkins University School of Medicine, yang berkesimpulan bahwa penanganan Covid-19 lebih baik menggunakan pendekatan imunitas seseorang.
“Penanganan pandemi tidak bisa hanya dengan memandatkan vaksin kepada setiap orang. Tujuan penanganan pandemi adalah mengurangi kematian, sakit berat, dan kelumpuhan, bukan sekadar melakukan vaksinasi ke segenap kelompok masyarakat dengan segala cara,” jelas Farouk.
Terakhir, Farouk menjelaskan bahwa dewasa ini ada dua negara besar, AS dan China, yang diproyeksikan oleh IMF mempunyai pertumbuhan ekonomi dunia yang tinggi di 2021 (7.0% dan 8.1% masing-masing) dan diproyeksikan oleh World Bank menjadi stimulan pertumbuhan ekonomi dunia dan akan berkontribusi lebih dari satu per empat dari pertumbuhan global di 2021.
“AS berkontribusi hampir tiga kali dari rata-rata kontribusinya di tahun 2015-19, justru tidak menerapkan kebijakan sertifikat vaksin,” ujar pria yang menyelesaikan gelar MBA bidang Perbankan Internasional dari Universitas Birmingham, Inggris.
Kebanyakan negara bagian di AS, kata Farouk, tidak mewajibkan vaksin bagi warganya. Bahkan ada 20 negara bagian di AS yang melarang vaccine passports di AS.
“Kebijakan vaksinasi di Amerika Serikat adalah menggunakan pendekatan voluntary dengan berbagai insentif, termasuk insentif moneter, bagi yang melakukannya. Hal yang sama dilakukan National Health Commission, China, yang mengedepankan pendekatan informed, consented, and voluntary,” tambah mantan Direktur Bank Muamalat ini.