Scroll untuk baca artikel
Lingkungan

Kegagalan Food Estate; Hutan Rusak Hingga Tak Ada Petani yang Berminat Meski Lahan Sudah Siap

Redaksi
×

Kegagalan Food Estate; Hutan Rusak Hingga Tak Ada Petani yang Berminat Meski Lahan Sudah Siap

Sebarkan artikel ini

Hutan sudah terlanjur dibabat, namun food estate justru mendatangkan bencana bagi lingkungan dan masyarakat. 

BARISAN.CO – Pemerintah menetapkan program Food Estate sebagai Proyek Strategis Nasional. Hal ini untuk menjawab ancaman krisis pangan saat pandemi. Harapannya, dengan membuka sawah baru dan mendirikan lumbung pangan, pasokan makanan dalam negeri tidak akan mengalami kekurangan.

Presiden Joko Widodo pun menunjuk Kementerian Pertahanan yang dikepalai oleh Prabowo Subianto sebagai penggerak utama proyek ini. Tiga daerah akhirnya dipilih menjadi lokasi food estate yaitu Sumatera Utara, Kalimantan, dan NTT.

Sejak 2 tahun proyek ini dimulai pada 2020, ternyata kondisi proyek food estate sekarang justru tampak menyedihkan. Kegagalan ini terlihat salah satunya di daerah Gunung Mas Kalimantan Tengah, di mana 600 hektare hutan hujan telah dibabat habis untuk ditanami singkong.

Temuan Greenpeace di lapangan menunjukkan hamparan lahan yang terbengkalai serta tanaman singkong yang jauh dari kata subur.

Merusak Lingkungan

Hutan sudah terlanjur dibabat, namun food estate justru mendatangkan bencana bagi lingkungan dan masyarakat.

Hutan dan lahan gambut adalah ekosistem yang memiliki peran penting untuk mencegah banjir dan mengatasi krisis iklim. Masyarakat setempat adalah pihak yang paling merasakan dampak dari food estate.

Pada tahun 2021 sebanyak 8 kabupaten di Kalimantan Tengah terendam banjir.Mungkin lumbung pangan bukan satu-satunya penyebab banjir, tapi dengan berkurangnya daerah resapan air, tak bisa dimungkiri bahwa risiko bencana akan semakin meningkat.

Petani pun semakin merugi, karena gagal panen akibat banjir menjadi tak terhindarkan.

Gagal Sejak Perencanaan

Anggota Komisi bidang Pertanian DPR RI, Slamet menyebut gagalnya program ini karena dilakukan tanpa kajian yang matang sejak tahap perencanaan. Mulai dari lahan yang tidak memenuhi syarat untuk tanaman yang cocok ditanam, infrastruktur yang memakan biaya besar, hingga lokasi food estate yang jauh dari pemukiman masyarakat.

“Di sisi lainnya kan semua food estate itu kan ada di daerah yang jauh dari user ya. User-nya kan di daerah paling nggak pulau Jawa, ini menjadi user terbesar. Itu kan nanti juga pada akhirnya butuh biaya tinggi. Jadi memang tidak feasible menurut saya. Dari awal saya teriak-teriak keras untuk food estate ini proyek gagal, makanya jangan sampai dianggarkan lagi,” kata Slamet, Selasa (29/11/2022).

Anggota Fraksi PKS ini mengatakan, proyek food estate memang mangkrak karena petani enggan mengerjakan lahan food estate tersebut.

Ia menyebut, pemerintah tidak mengkaji secara sosiologis terkait dengan pola food estate yang ditempatkan jauh dari pemukiman masyarakat dan karakter masyarakat di lokasi lumbung pangan tersebut.

Ia mencontohkan, misalnya petani di pulau Jawa, Sumatera atau petani di Kalimantan, pasti memiliki karakteristik bertani yang berbeda. Ini yang menurut Slamet luput dari kajian pemerintah.

“Jadi ketika kemarin saya kunjungan ke sana, mereka ditanya, ‘Pak kalau proyek ini berhenti, bapak mau nggak bertani di sini, nginep di sini?’ Ternyata nggak mau mereka, jauh dari tempat tinggal dia. Dan budaya kerja di satu lokasi ini juga harus dipertimbangkan,” imbuhnya.