“Ya, aku tahu dan ingat. Waktu reuni beberapa waktu yang lalu juga sempat mengobrol dengannya.”
“Dia lagi stres sekarang. Karena uangnya di bawa oleh Edy sebesar dua puluh lima juta rupiah. Dan sekarang Edy tak bisa lagi di hubungi.”
“Oh my God….” jeritku tertahan. “Kok Tono bisa kena ya Han? Bagaimana ceritanya?”
“Tak tahulah. Mungkin Tono terkecoh dengan penampilan si Edy dan dia juga termakan dengan segala omongannya seperti yang pernah dikatakan pada kita. Mungkin juga Tono terlalu polos, jadi dia nggak curiga sama sekali. Ah, penampilan luar itu ternyata bukan jaminan.”
Setelah kami menyelesaikan pembicaraan, aku masih duduk termangu, pikiranku tak henti-hentinya merenungkan semua kejadian ini. Selama puluhan tahun kami tak pernah bertemu, namun setelah bertemu bukannya pertemanan atau rasa persaudaraan itu di jaga, tapi justru ada yang menodainya dengan hal-hal yang tak semestinya.
Beberapa wajah teman-temanku SMA datang menyambangi anganku. Aku ingat si Weni. Apa kira-kira yang diinginkan si Weni? Mungkin keinginan terbesarnya adalah mencukupi kebutuhan anak-anaknya serta membahagiakan mereka. Dan itu adalah hal yang wajar. Lalu Manto. Yang meringkuk tak berdaya di atas kursi roda. Wajahnya yang muram, matanya yang tanpa cahaya dan kegairahan hidup, kira-kira apa yang diinginkan oleh Manto? Barangkali keinginan terbesarnya adalah sembuh dari sakitnya, dan bisa kembali bangkit dan kembali bisa berjuang untuk keluarganya. Lagi-lagi ini adalah hal yang wajar.
Lalu si Edy. Ah, barangkali dia terlalu banyak keinginan dalam hidupnya. Hingga apa yang telah didapatnya tak pernah cukup untuk memenuhi segala keinginan itu. Dia telah menyediakan wadah yang terlalu besar untuk apa yang telah didapatnya, yaitu dengan keinginannya dan bukan dengan kebutuhannya. Hingga akhirnya mencari segala cara supaya wadah yang berupa keinginan itu bisa diisi dengan penuh.
Lalu Bagio. Pribadi yang begitu sederhana. Tanpa gengsi dan mampu tampil tanpa harus menipu diri sendiri atau bahkan hati nurani. Namun dalam kesederhanaan itulah tersimpan sebuah kehidupan yang penuh kewajaran.
Ternyata, kesederhanaan itu lebih hening dari gaya hidup yang dipaksakan atau sebuah kepura-puraan!
Bekasi, 19 September 2022
Sapto Wardoyo, lahir di Madiun 10 Januari dan kini tinggal di Bekasi. Adalah seorang karyawan yang gemar menulis cerpen, terutama puisi. Sampai saat ini karya-karyanya telah tayang di berbagai media baik cetak maupun online.
Tergabung dalam beberapa antologi bersama, di antaranya Antologi 105 Penyair Indonesia, Lampion Merah dadu, Minyak Goreng Memanggil dan Puisi Kehidupan. Bisa ditemui di akun FB Sapto Wardoyo dan IG Sapto Wardoyo. Email; saptowardoyo1001@gmail.com