Scroll untuk baca artikel
Kesehatan

Kelangkaan Hewan Memicu Penyakit Baru Bagi Manusia

Redaksi
×

Kelangkaan Hewan Memicu Penyakit Baru Bagi Manusia

Sebarkan artikel ini

Menurunnya keanekaragaman hayati meningkatkan risiko pandemi penyakit, seperti Covid-19. Inang patogen berbahaya bisa saja melompat ke manusia. Wabah Ebola yang terjadi pada 2018 bukan hanya karena penyakit, tetapi juga deforestasi, pertambangan, ketidakstabilan politik, dan pergerakan orang.

BARISAN.CO – Menurut data Global Forest Watch, antara tahun 2001 hingga 2021, dunia kehilangan 437Mha tutupan pohon, setara dengan 11% pengurangan tutupan sejak 2000 dan 176Gt emisi karbon dioksida.

Tercatat, sekitar 95,4% hilangnya tutupan pohon di Indonesia terkait dengan produksi komoditas, terutama kayu dan perkebunan kelapa sawit. Kebakaran yang disebabkan oleh manusia terkait dengan aktivitas pertanian juga menyebabkan perusakan hutan skala besar dan menyebabkan kabut berbahaya serta emisi karbon.

Tiap tahun, deforestasi menyebabkan hilangnya keanekaragaman hayati sekitar US$2 triliun hingga US$4,5 triliun. Diperkirakan, tahun 2030 hanya ada 10% hutan hujan dunia yang tersisa.

Tujuh puluh persen tumbuhan dan hewan bumi tinggal di hutan dan deforestasi mempengaruhi kehidupan mereka secara langsung. Begitu habitatnya hilang, maka kepunahan mungkin terjadi. Diperkirakan, dunia telah kehilangan 137 spesies tanaman, hewan, dan serangga setiap hari karena deforestasi.

Di bawah ini adalah daftar hewan yang mungkin segera punah karena deforestasi besar-besaran;

  • Gorila Gunung. Hewan yang berhabitat di Rwanda, Afrika Tengah ini hanya tersisa sekitar 900 spesies saat ini.
  • Badak Jawa. Salah satu hewan paling langka di bumi ini terdaftar sebagai hewan sangat terancam punah oleh The International Union for Conservation of Nature and Natural Resources (IUCN). Hanya ada 60 hewan yang bertahan hidup di Taman Ujung Kulon di Jawa, Indonesia.
  • Orangutan Kalimantan. Penebangan liar, industri kelapa sawit yang merajalela, dan kebakaran hutan memakan korban salah satu spesies paling cerdas di dunia. Ini juga masuk ke dalam daftar IUCN yang sangat terancam punah.
  • Gajah Kerdil Kalimantan. Gajah dengan ukuran terkecil dari subspesies gajah Asia ini semakin berkurang karena ekspansi signifikan perkebunan kelapa sait. Dengan luasnya hutan yang terus menyusut, semakin sulit bagi mereka mencari sumber makanan dan tempat berteduh yang memadai.
  • Panda Raksasa. Perubahan ekologi menyebabkan jumlah menyenangkan ini habitatnya semakin berkurang di provinsi Sichuan, Cina.
  • The Golden Lion Tamarin. Hewan kecil di hutan Amazon ini kehilangan habitatnya karena pertanian kedelai yang ekstensif dan penebangan kayu.
  • Kupu-kupu Raja. Menghabiskan musim dingin di Meksiko dan musim panas di Kanada dan Amerika Serikat, kupu-kupu ini semakin terancam karena penebangan hutan. Penggunaan herbisida pada sumber makanan utamanya, milkweed di AS juga membuat mereka semakin sulit bertahan hidup.

Khusus di Indonesia, selain degradasi, perdagangan satwa liar juga menjadi ancaman. Lebih dari 95 persen satwa liar yang diperdagangkan di pasar adalah hasil tangkapan liar. Semakin langka spesiesnya, semakin mahal harganya.

Keanekaragaman hayati secara harfiah menjadi jaring kehidupan. Ketika spesies hewan ditambah ke daftar kelangkaan, maka berdampak pada manusia.

Sebuah penelitian yang diterbitkan Nature menyebut, menurunnya keanekaragaman hayati meningkatkan risiko pandemi penyakit, seperti Covid-19. Inang patogen berbahaya bisa saja melompat ke manusia. Analisis terhadap sekitar 6.800 komunitas ekologis di 6 benua menambah bukti, kaitan antara hilangnya keanekaragaman hayati dengan wabah penyakit.

Menurut ahli zoologi, Peter Daszak, sebagian besar upaya mencegah penyakit baru cenderung berfokus pada pengembangan vaksin, diagnosis dini, dan penahanan, bukan dengan mengatasi penyebab yang mendasarinya.

Seorang ahli epidemiologi dan kepala operasi darurat di Badan Kesehatan Dunia (WHO), Ibrahima Soce Fall mengatakan, solusinya untuk mencegahnya adalah dengan pembangunan berkelanjutan.

“Jika kita terus mengalami tingkat deforestasi, penambangan yang tidak terorganisir, dan pembangunan yang tidak terencana, kita akan mengalami lebih banyak wabah,” kata Ibrahima.

Wabah Ebola yang terjadi pada 2018 bukan hanya karena penyakit, tetapi juga deforestasi, pertambangan, ketidakstabilan politik, dan pergerakan orang.

“Dengan kolaborasi yang tepat antara kesehatan manusia, kesehatan hewan, dan otoritas hewan, Anda memiliki beberapa mekanisme untuk peringatan dini,” ungkapnya. [rif]