Scroll untuk baca artikel
Kontemplasi

Kembali Ke Pangkuan Islam

Redaksi
×

Kembali Ke Pangkuan Islam

Sebarkan artikel ini

BARISAN.CO – Saya membayangkan, dan telah menuliskannya pula di rubrik Kotemplasi ini, bahwa seiring Covid-19, maka negara dan umat Islam akan mewujudkan sosialisme Indonesia. Berbondong-bondong kita menjadi sosialis.

Tapi, sebagai seorang muslim, tarikan untuk menyibak pandangan politik dan ekonomi Islam justru menguat. Terus terang, ternyata saya tetap tidak bisa memungkiri konsep-konsep pokok keduanya dari paham keislaman yang saya anut.

Memang, betapa indah konsep sosialisme, tapi saya tidak bisa menerimanya secara keseluruhan. Misal, kita tilik gagasan Marx, bahwa semua eksistensi merupakan proses materialisme dialektika. Bahwa tesa, antitesa, dan sintesa itu berbasis materi, mesti dimaterialisasikan.

Sehingga, bukan Tuhan yang menguasai materi, melainkan materilah yang mengondisikan ketuhanan. Bukan suprastruktur yang menentukan struktur, melainkan strukturlah yang membentuk suprastruktur.

Kaum Marxis memimpikan materialisme dialektika itu diterapkan dalam lembaga-lembaga dan proses-proses sosial. Maka, tak pelak lagi bahwa agama, etika, dan ilmu serta semua proses hidup sebagai turunan atau akibat dari kreativitas pola produksi ekonomi.  

Nah, dalam pemahaman saya, Islam mengarusutamakan konsep ketuhanan, kemanusiaan, dan kealaman sekaligus. Gagasan kebebasan, persamaan, dan persaudaraan dalam filosofisnya bersifat teistis, tidak materialistis murni. Islam meyakini bahwa hidup memiliki sumber spiritual, latar belakang serta tujuan dan maksud yang bersifat spiritual pula.

Betapa alam semesta itu tidak dikendalikan oleh kekuatan-kekuatan mekanistik yang buta tanpa tujuan. Betapa semesta kosmos tidak diatur oleh dialektika materialistis semata. Ya, memang kita hidup beralas materi, berlandaskan fisik, tetapi tidak bisa kita ingkari pula, bahwa kesejahteraan fisik kita harus dicapai dalam rangka membebaskan diri secara spiritual.

Sehingga tidak ada antitesa antara roh dan fisik. Tidak ada pertarungan antara dunia sekarang dengan dunia yang akan datang. Semua dalam kesatuan utuh bersama Tuhan yang Esa, yang ahad, sebagai keluarga Tuhan.

Betapa segenap eksistensi, mulai dari materi, kehidupan, pikiran binatang, dan pikiran manusia, itu sungguh terikat dalam lingkaran-Nya, inna lillahi wa inna ilaihi rajiun.

Kaum Marxis mengandaikan bahwa sejarah manusia dan semua gejala fisik didasarkan atas materialisme. Tapi Islam, sebaliknya, mengetengahkan bahwa kebangunan dan keruntuhan suatu bangsa justru pertama-tama oleh keyakinan dan sikap hidup bangsa tersebut. Sebab kondisi dalam, bukan dari kondisi luarnya. “Allah tidak mengubah kondisi suatu bangsa kecuali mereka sendiri mengubah kondisinya sendiri.”

Kemudian terkait hak pemilikan, Islam tidak sepenuhnya mengiyakan konsep Marxisme maupun Kapitalisme. Tidak sepenuhnya menghapus kepemilikan pribadi atau kelompok, juga tidak seluruhnya diserahkan menjadi badan usaha milik negara. Sehingga, menurut Islam, prinsip sosialisme UUD 1945 Pasal 33 ayat 3, “Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat,” tidak meniscayakan individualitas atas produksi itu hilang.  

Dalam rukun Islam, ada konsep zakat, di mana Tuhan mengingatkan, “Perhatikanlah agar harta itu tidak hanya beredar di antara orang-orang kaya saja.” (Al-Hasyr: 7). Nyatalah, dalam Islam kelas kaya diakui, tidak seperti Komunis yang menginginkan masyarakat tanpa kelas.

Islam menginginkan agar produksi dan perdagangan semakin berkembang, baru kemudian sebagian di antara harta yang tertumpuk dipungut oleh negara untuk kesejahteraan sosial, terutama untuk menolong orang-orang fakir dan miskin.