Pramoedya Ananta Toer dalam karyanya yang berjudul “Jalan Raya Pos Jalan Daendels” menceritakan bahwa pada tahun 1625 Surabaya adalah kota peradaban paling maju dari seluruh kota di Nusantara yang hancur oleh serangan raja pedalaman, yaitu Mataram yang hanya kenal kekuasaan. Namun demikian masih ada sepercik manfaat. Surabaya akhirnya takhluk melalui diplomasi. Putera terpenting Adipati Surabaya bernama Pangeran Pekik disandera ke Mataram. Dialah yang membawa sastra dan tangga nada pelog ke pedalaman Jawa Tengah tersebut.
Selanjutnya Pangeran Pekik beserta keluarga yang telah menjadi pemberadab Mataram dibantai kerena alasan-alasan sepele. Perkembangan kesenian pada awalnya berasal dari keraton karena lingkungan keraton yang pertama bersentuhan dengan sastra dan tangga nada. Ketika dunia seni berada pada lingkungan elit keraton, ia syarat dengan sopan santun tingkat tinggi, sangat memperhatikan kehalusan dan keselarasan. Berikutnya ketika kesenian yang elitis itu meluas menjadi hak umum masyarakat kelas bawah, ia mengalami pergeseran sesuai karakter masyarakat. Terasa berkurang kehalusan dan keselarasannya. Bahkan terkadang brutal, arogan, seperti terlihat pada fenomena dangdut/campusari yang dikoplo.
Benturan Antar Kebiadaban
Pada tahun 1999 Samuel P. Huntington mengeluarkan Clash of Civillization. Dalam tesis ramalan yang diterjemahkan “Benturan Antar Peradaban” itu Huntington menyebutkan ada enam peradaban dunia yang berpotensi / rentan akan terjadi perbenturan dalam sejarah, antara lain: peradaban Islam (Timur Tengah), Hindu (India), Kristen, Konfusian (Cina), Shinto (Jepang), dan peradaban modern (Barat).
Tidak lama pada tahun 2001 terjadi pengeboman menara WTC di Pentagon. Kontroversi panjang terjadi menanggapi tesis Huntington tersebut, antara propaganda dan rencana barat menyudutkan dunia Islam, dan yang membenarkannya dengan mengangkat isu radikalisme beragama. Terlepas dari kontroversi tesis Huntington, jika ditilik kembali dari hakikatnya, peradaban merupakan sesuatu yang halus, bernilai moral tinggi, maka dari dunia manapun peradaban adalah berisi sistem nilai yang sama-sama luhur.
Sesama nilai luhur ironis terjadi perbenturan. Kalaupun terjadi persaingan antara peradaban yang berbeda tetapi sama-sama luhur dan benar, yang terjadi bukanlah perbenturan (clash), melainkan saling akulturasi. Yang merasa lebih inferior akan menyerap yang unggul. Sebenarnya suatu clash adalah suatu penyimpangan dalam perkembangan peradaban. Perkembangan yang normal dalam suatu peradaban adalah saling mengenal dan saling menghargai. Clash justru terjadinya adalah antar ketidakberadaban, dengan istilah lain perbenturan terjadi antar kebiadaban.