Scroll untuk baca artikel
Khazanah

Kenapa? Hanya Allah Yang Penting

Redaksi
×

Kenapa? Hanya Allah Yang Penting

Sebarkan artikel ini

Barisan.co – Awal Muhammad Saw menjadi nabi, disuruh sering salat malam. “Lakukanlah salat pada malam hari kecuali sebagian kecil darinya. Separuh atau kurang sedikit dari separuh. Atau lebih banyak dari semua itu.” (Al Muzzammil: 2-4).

Kita baca sejarah beliau, setiap kali menghadapi siang, setiap kali pula beliau berhadapan dengan musuh, Abu Jahal dan kawan-kawan. Malam hari beliau diperintah untuk salat. Berkonsultasi kepada Allah Swt. Sehingga esok hari, beliau ringan menghadapi kenyataan.

Nah, selaku pengikut Muhammad Saw, seyogianya pula kita bisa memperbanyak salat malam. Kita menggumamkan munajat kepada Tuhan, “Ya Allah, saya ini sekadar menjalani hidup. Nyawa ini pun juga semata titipan-Mu, yang setiap saat mesti siap innalillahi.”

Niscaya kita siap menghadapi apa pun. Suka duka tak jadi soal, karena kita sudah teken kontrak dengan Tuhan, “Pada akhirnya saya hanya hidup bersama-Mu, Ya Allah. Yang paling saya butuhkan hanya rida-Mu, Ya Allah. Saya hidup dengan-Mu. Dan saya takut murka-Mu.”

Sekira demikian, sekali lagi, kita akan siap menghadapi kenyataan. Misal, suatu pagi kita mendengar ada tetangga yang membenci, itu tak akan mempengaruhi hati kita. Sebab di pikiran kita cuma rida Allah. Pun siang hari, ada yang jengkel dengan kita, itu juga akan kita tanggapi biasa saja. Sebab, ya, hanya Allah-lah yang penting.

“Salah sendiri nggak pernah qiyamul lail! Akhirnya, nggak disukai tetangga stres, nggak disukai ipar stres. Itu kan Islam swasta!” canda Gus Baha.

Begitulah kiranya, betapa sujud di waktu malam itu teramat perlu. Kita bisa berkonsultasi kepada Allah secara intim. Dan, yang jelas, kita akan menganggap bahwa Allah itu yang paling penting, dari sekian hal yang kita pentingkan.  

Gus Baha juga memapar bahwa bentuk ibadah selain ibadah mahda, bersedekah misalnya, itu bukan bentuk kesalehan khas seorang muslim. Karena, nyata-nyata seorang fasik pun melakukannya, lebih besar malah. Santunan, atau donasi yang dilakukan orang fasik, kerap kali lebih besar dan lebih berarti buat kemaslahatan umum. Oleh karenanya, yang bisa membedakan saleh tak saleh seorang muslim adalah ibadah mahda, salat malam salah satunya.

“Makanya jamaah yang masih mengandalkan ibadah-ibadah seperti sedekah, zakat, ya memang baik, dan akan tetap kita lakukan sampai mati, tapi itu suatu ibadah yang orang zalim pun biasa melakukan. Kita tahu, betapa loyalnya antarsesama fasik, bahkan mereka rela berkorban. Betapa sosial mereka, hingga keluarga antarmereka pun saling menjaga. Satu sama lain, antarmereka saling berusaha agar tak terpuruk. Demi teman, mereka rela mati. Mereka berani mati.” terang Gus Baha.

Tersebutlah dalam al-Furqon ayat 64, ciri khas orang baik itu adalah yang bermalam, yakni bersujud dan beribadah kepada-Nya. Sementara, ibadah selain qiyamul lail—seperti dermawan, zakat, sosial—sekali lagi Gus Baha menuturkan bahwa orang  zalim pun melakukannya, preman pun biasa melakukan. Sehingga, ciri kesalehan khas Allah adalah kerelaan hati untuk terjaga di waktu malam. Mau bersujud kepada Allah di waktu malam. Suatu perilaku yang orang fasik pun enggan melakukan.

Bayangkan! Malam-malam, dalam dini hari yang dingin, sendirian tiada yang melihat, tiada yang memuji, tiada seorang pun yang mengundang. Kita bersujud murni lantaran panggilan jiwa kepada Allah swt. Karena takut yang sedemikian rupa kepada Allah, karena tamak kepada Allah. Sehingga tak aneh, sekira Imam Syafi’i, dan atau Imam Ghazali, menandaskan bahwa kemuliaan itu ditandai dengan sujud di malam hari. Dan sujud itu pula, yang kelak menjadi tanda kita di padang mahsyar. Pertanda bahwa kita benar-benar pengikut Nabi Muhammad saw.