Scroll untuk baca artikel
Kontemplasi

Kenapa Tidak Bisa Pluralis

Redaksi
×

Kenapa Tidak Bisa Pluralis

Sebarkan artikel ini

KONON, kata “hak” dari “haq”, sehingga tak bisa diremehkan atau dilanggar, bahkan oleh negara sekalipun. Dan, realitas di negeri ini, seakan baru kemarin sore kita berdemokrasi, betapa kebebasan berbicara, menulis dan berserikat, tiba-tiba sebagai sesuatu yang biasa.

Sesuatu yang terjangkau murah, bahkan gratis. Saking mudahnya, silang sengkarut gagasan, pendapat, opini, persebaran meme, saling dukung dan caci, mengemuka. Saking gampangnya, apalagi kini didukung oleh kecanggihan alat pesan android, bukan lagi suasana harmonis yang diperoleh, melainkan disharmoni, hingga dehumanisasi.

Lepas dari itu semua, saya patut bersyukur hidup di kurun penuh heroik ini. Saya hidup saat gelombang demokratisasi semarak. Pancasila yang nyaris redup, bahkan dimitoskan, kini digali lagi falsafah nilainya.

Gagasan kebhinnekaan semakin mengemuka tak terbendung, meski dari beberapa kelompok agama juga ada yang getol mengadang laju pluralisme, liberalisme, keterbukaan, kesetaraan gender, isu HAM, dan sebagainya.

Secara singkat, menurut Dr. Abd. Moqsith Ghazali, publik keberagamaan di negeri ini terbagi dalam tiga kelompok. Pertama, kelompok eksklusif, kelompok yang bernaung di balik kepastian makna teks suci, berlindung di balik terjemahan literal, dan enggan menjamah pengayaan makna filosofis.

Kedua, kaum inklusif. Kelompok yang turut mewarnai wajah republik dengan berkeyakinan bahwa kita setara, kita sama. Kelompok ini, di kalangan Islam, terutama berasal dari kalangan cendekia muda dan berbasis pesantren tradisional, tak kalah gigih menunjukkan bahwa Islam agama rahmat, Islam agama toleran, dan seterusnya.

Kelompok yang menganut bahwa semua agama sama. Kelompok yang mencoba mencairkan doktrin normatif ke dalam makna yang lebih ilmiah terbuka, senada dengan doktrin agama lain, dan selaras dengan kebutuhan toleransi. 

Kemudian, berdiri di kutub yang berbeda, kelompok ketiga, yakni kaum pluralis. Kaum yang tak berpretensi hendak menyamakan agama. Kelompok yang tak tertarik untuk meneropong norma apalagi menghakimi konsep teologis agama di luar dirinya.

Kelompok yang mencoba bijak bahwa kenyataan beda itu nyata, sehingga usah memperbesar perbedaan, tidak perlu ribet mencari persamaan-persamaan. Titik beda, tidak harus dicari-cari, pasti adanya, pun titik temu, tidak perlu pusing diupayakan pasti wujud, sekira berpaham bahwa perbedaan itu realitas objektif, realitas yang dimaui Tuhan. Kita tinggal menyelaraskan kehendak Tuhan, hidup damai di tengah perbedaan, dan saling mengulurkan bantuan, dan nilai yang dimiliki, tanpa terintimidasi oleh kenyataan beda.

Berpaham pluralisme adalah berpikir objektif bahwa ada atau tidak adanya sesuatu yang objektif, tidak tergantung persepsi subjektif kita. Bahwa Kristen ada, Hindu ada, Budha ada, Khonghucu serta kepercayaan-kepercayaan juga, semua ada secara objektif, cukuplah bagi kita.

Tidak perlu repot berpikir tentang kedudukan teologis mereka masing-masing dalam Islam. Kehadiran mereka tidak memerlukan pembenaran konsep ketuhanan atau apa pun dari Islam.    

Nah, terus terang saya condong pada pluralisme ini. Bahkan sudah biasa di kompleks perumahan tempat saya tinggal. Kalau ada kumpul-kumpul di pos ronda bermain kartu, saya tetap datang, dan tak seorang pun peduli kenapa saya tidak ikut main, karena saling tahu ini soal selera.

Ada yang keranjingan bir, dan tidak sedikit yang ketagihan, tapi tetap mereka menghargai saya yang hanya doyan segelas teh. Mereka merokok, saya tidak, dan tidak lantas mereka merayu-rayu agar saya mencoba sebatang saja, seraya di rumah tetap saya sediakan asbak rokok, tatkala mereka bertandang. Hingga soal keyakinan ketuhanan, masing-masing di sini berdiri dalam keyakinan sendiri-sendiri, tanpa ada penghakiman. Tanpa vonis sesat.