Berpaham pluralisme adalah berpikir objektif bahwa ada atau tidak adanya sesuatu yang objektif, tidak tergantung persepsi subjektif kita. Bahwa Kristen ada, Hindu ada, Budha ada, Khonghucu serta kepercayaan-kepercayaan juga, semua ada secara objektif, cukuplah bagi kita.
Tidak perlu repot berpikir tentang kedudukan teologis mereka masing-masing dalam Islam. Kehadiran mereka tidak memerlukan pembenaran konsep ketuhanan atau apa pun dari Islam.
Nah, terus terang saya condong pada pluralisme ini. Bahkan sudah biasa di kompleks perumahan tempat saya tinggal. Kalau ada kumpul-kumpul di pos ronda bermain kartu, saya tetap datang, dan tak seorang pun peduli kenapa saya tidak ikut main, karena saling tahu ini soal selera.
Ada yang keranjingan bir, dan tidak sedikit yang ketagihan, tapi tetap mereka menghargai saya yang hanya doyan segelas teh. Mereka merokok, saya tidak, dan tidak lantas mereka merayu-rayu agar saya mencoba sebatang saja, seraya di rumah tetap saya sediakan asbak rokok, tatkala mereka bertandang. Hingga soal keyakinan ketuhanan, masing-masing di sini berdiri dalam keyakinan sendiri-sendiri, tanpa ada penghakiman. Tanpa vonis sesat.
Dari situlah, saya tak habis pikir dengan fenomena ekslusifisme. Saya gagal paham dengan kelompok muslim yang cenderung eksklusif. Kelompok yang menjamur di daerah-daerah yang justru berlatar sejarah abangan. Dari kelompok ini pula, saya menemu konsep puritan: literalisme, antirasionalisme, dan antiinterpretasi.
Dari pengajian mereka, kerap disinggung bahaya rasionalisme, bahaya filsafat, dan mesti hati-hati dengan tasawuf. Saya menemukan mereka sedemikian tegas membelah manusia hanya dalam dua kutub berseberangan: Islam versus Kafir.
Menurut mereka, sebagai muslim mesti tegas dan jelas membenci bahkan memusuhi nonmuslim. Muslim dilarang untuk terlebih dahulu memberi ucapan salam/selamat kepada nonmuslim. Dan kalau pun membalas ucapan salam dari mereka, semestinya tak sampai mendoakan keselamatan atau kedamaian.
Saya sadar, pilihan eksklusif itu hak mereka. Mereka berhak eksklusif, tertutup dengan pikiran pluralisme dan apalagi inklusif. Namun, saya berpikir tetap mesti ada otokritik. Kritik ke dalam tubuh umat Islam tentang keberadaan kelompok yang coba menguasai otoritas “perintah Tuhan” dengan cara intoleransi dan menebar kebencian pada yang lain. Keberadaan kelompok eksklusif ini nyata. Mereka menabuh genderang kebencian dan antipluralisme.
Mereka punya basecamp dan kita bisa bertandang ke sana untuk cek kebenaran berita. Mereka meruntuhkan keluhuran ajaran dan kemuliaan Islam dengan menebar kebencian kepada Jamaah Ahmadiyah. Benci Syiah. Benci Amerika. Benci Israel. Mereka vulgar melarang ritual tahlilan, yang biasa dilaksanakan kelompok tradisi.