Scroll untuk baca artikel
Kontemplasi

Kenapa Tidak Bisa Pluralis

Redaksi
×

Kenapa Tidak Bisa Pluralis

Sebarkan artikel ini

Dari situlah, saya tak habis pikir dengan fenomena ekslusifisme. Saya gagal paham dengan kelompok muslim yang cenderung eksklusif. Kelompok yang menjamur di daerah-daerah yang justru berlatar sejarah abangan. Dari kelompok ini pula, saya menemu konsep puritan: literalisme, antirasionalisme, dan antiinterpretasi.

Dari pengajian mereka, kerap disinggung bahaya rasionalisme, bahaya filsafat, dan mesti hati-hati dengan tasawuf. Saya menemukan mereka sedemikian tegas membelah manusia hanya dalam dua kutub berseberangan: Islam versus Kafir.

Menurut mereka, sebagai muslim mesti tegas dan jelas membenci bahkan memusuhi nonmuslim. Muslim dilarang untuk terlebih dahulu memberi ucapan salam/selamat kepada nonmuslim. Dan kalau pun membalas ucapan salam dari mereka, semestinya tak sampai mendoakan keselamatan atau kedamaian.

Saya sadar, pilihan eksklusif itu hak mereka. Mereka berhak eksklusif, tertutup dengan pikiran pluralisme dan apalagi inklusif. Namun, saya berpikir tetap mesti ada otokritik. Kritik ke dalam tubuh umat Islam tentang keberadaan kelompok yang coba menguasai otoritas “perintah Tuhan” dengan cara intoleransi dan menebar kebencian pada yang lain. Keberadaan kelompok eksklusif ini nyata. Mereka menabuh genderang kebencian dan antipluralisme.

Mereka punya basecamp dan kita bisa bertandang ke sana untuk cek kebenaran berita. Mereka meruntuhkan keluhuran ajaran dan kemuliaan Islam dengan menebar kebencian kepada Jamaah Ahmadiyah. Benci Syiah. Benci Amerika. Benci Israel. Mereka vulgar melarang ritual tahlilan, yang biasa dilaksanakan kelompok tradisi.

Padahal saya menangkap konsep dari teks suci bahwa Tuhan menghadirkan manusia ke muka bumi, tak sekadar untuk hadir, tapi tertuntut tanggung jawab “lita’arafu”, yakni memberadabkan. Memberadabkan sama artinya dengan tidak menyebar kekerasan, tidak menebar kebencian, tidak mengusung intoleransi.

Tanggung jawab manusia itu tidak merusak keindahan warna-warni ciptaan Tuhan, tidak melukai perasaan sesama, dan tidak menyakiti nalar sehat yang lain. Memberadabkan adalah mewujudkan nilai kebertuhanan di atas muka bumi. Menyebarluaskan sifat-sifat yang merupakan inti kebertuhanan: keadilan, dan kasih sayang.

Sebaliknya, gerakan-gerakan eksklusif, yang kini marak di media sosial, selalu menyikapi segala sesuatu dengan logika konspirasi. Juga logika kekerasan. Logika sebagai kelompok yang lebih unggul dan superior. Beserta sikap arogansi, merasa benar ketika berhadapan dengan kelompok lain.

Tatkala berhadapan dengan teks suci, kelompok eksklusif acap membesar-besarkan peran teks ketimbang nalar logis manusia. Seakan makna teks itu sudah jelas bin gamblang, sehingga subjektivitas manusia dalam menafsirkan teks tidaklah relevan untuk mengimplementasi perintah Tuhan.

Terkesan pula, dari ulah mereka, bahwa satu-satunya Islam yang benar adalah Islam yang bercorak budaya Arab Saudi. Hanya ada satu Islam sejati, yakni yang senantiasa mendasarkan diri pada kata demi kata kitab suci secara literal. Upaya rasionalisasi, upaya pendalaman makna kata, upaya memasuki lorong esoteris, mereka sebut sebagai pengaburan kesejatian Islam.

Sungguh, saya tak mengerti. Kenapa sampai eklusif! Kenapa tidak bisa pluralis! Ungaran, 22/12/2020