Padahal saya menangkap konsep dari teks suci bahwa Tuhan menghadirkan manusia ke muka bumi, tak sekadar untuk hadir, tapi tertuntut tanggung jawab “lita’arafu”, yakni memberadabkan. Memberadabkan sama artinya dengan tidak menyebar kekerasan, tidak menebar kebencian, tidak mengusung intoleransi.
Tanggung jawab manusia itu tidak merusak keindahan warna-warni ciptaan Tuhan, tidak melukai perasaan sesama, dan tidak menyakiti nalar sehat yang lain. Memberadabkan adalah mewujudkan nilai kebertuhanan di atas muka bumi. Menyebarluaskan sifat-sifat yang merupakan inti kebertuhanan: keadilan, dan kasih sayang.
Sebaliknya, gerakan-gerakan eksklusif, yang kini marak di media sosial, selalu menyikapi segala sesuatu dengan logika konspirasi. Juga logika kekerasan. Logika sebagai kelompok yang lebih unggul dan superior. Beserta sikap arogansi, merasa benar ketika berhadapan dengan kelompok lain.
Tatkala berhadapan dengan teks suci, kelompok eksklusif acap membesar-besarkan peran teks ketimbang nalar logis manusia. Seakan makna teks itu sudah jelas bin gamblang, sehingga subjektivitas manusia dalam menafsirkan teks tidaklah relevan untuk mengimplementasi perintah Tuhan.
Terkesan pula, dari ulah mereka, bahwa satu-satunya Islam yang benar adalah Islam yang bercorak budaya Arab Saudi. Hanya ada satu Islam sejati, yakni yang senantiasa mendasarkan diri pada kata demi kata kitab suci secara literal. Upaya rasionalisasi, upaya pendalaman makna kata, upaya memasuki lorong esoteris, mereka sebut sebagai pengaburan kesejatian Islam.
Sungguh, saya tak mengerti. Kenapa sampai eklusif! Kenapa tidak bisa pluralis! Ungaran, 22/12/2020