Tepatnya 12 dan 13 April 2016 publik dikejutkan oleh aksi ibu-ibu Kendeng mengecor kaki mereka. Itu sebagai simbol para petani kini dipasung semen. Petani Kendeng tak sanggup menggarap sawah dan ladang, karena keberadaan pabrik semen. Pabrik semen merusak tanah, menghilangkan sumber air.
Mereka melakukan aksi tepat di depan Istana Negara. Ada dua hal yang mereka harap. Pertama, mereka mendapat kejelasan tentang penyelesaian konflik dengan P.T. Semen Indonesia. Negara, dalam hal ini pemerintah, tak bisa tidak mesti segera menghentikan izin usaha pembangunan pabrik semen di Pulau Jawa, terutama di kawasan Kendeng Utara.
Kedua, mereka menujukan aksi itu untuk menggugah rasa memiliki dan melindungi air dan tanah baik kepada pemerintah maupun seluruh lapisan masyarakat. Dua hal itu mereka nyatakan secara simbolik dengan mengecor kaki.
Pada hari pertama, Selasa, 12 April 2016, aksi berlangsung sejak pukul 14.30 sampai 19.00. Keesokan harinya, aksi kembali berlangsung sejak pukul 13.00 dan selesai pukul 19.30. Pada hari kedua itulah, terjadi fenomena alam yang menarik. Pukul 16.30 muncul pelangi di langit Jakarta. Pada saat bersamaan di Rembang, terutama di Desa Tegaldowo dan Timbrangan, turun hujan deras. Tuhan telah menunjukkan kuasa, mendukung upaya spiritual ibu-ibu Kendeng. Mereka tak sendirian. Tuhan bersama mereka.
Sebuah aksi yang menggemparkan publik, terutama pengguna media sosial. Simpati publik berdatangan. Sore itu, aksi hari kedua ibu-ibu pun berakhir. Komisi Nasional (Komnas) Perempuan, Komnas Hak Asasi Manusia (HAM), anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dari Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa, Teten Masduki, dan Pratikno menemui ibu-ibu Kendeng usai pukul 16.30. Teten dan Pratikno berjanji mempertemukan ibu-ibu Kendeng dengan Presiden Joko Widodo sepulang melawat dari Eropa.
Setelah mendapat kepastian dari Istana, para ibu membongkar satu per satu cor semen di kaki masing-masing.
Mas Print semangat menjelaskan. Dia mengakhiri cerita usai azan subuh bersahut-sahutan. Lalu, kami istirahat. Mas Print juga.
Pukul 09.00, kami pamit, hendak melanjutkan perjalanan ke Blora. Namun sebelum meluncur ke Blora, Exsan menggiring kami mampir ke rumah Sukinah. Sukinah, saya memanggil dia Mbak Nah, satu dari sembilan ibu perkasa yang mengecor kaki di depan Istana Negara.
Mbak Nah memang luar biasa. Saya tak tahan mendengar tutur katanya yang mengandung kekuatan sekaligus keikhlasan kepada Tuhan. “Pokoke, aku iklas. Mesti Kendeng ndherekke (Pokoknya, saya ikhlas. Pasti Kendeng menyertai),” kata Mbak Nah.