Scroll untuk baca artikel
Kolom

Ketika Partai Tanpa Ideologi, Bagaimana Jadinya?

Redaksi
×

Ketika Partai Tanpa Ideologi, Bagaimana Jadinya?

Sebarkan artikel ini

Bagaimana dengan partai-partai era reformasi ? Di era ini partai politik tumbuh subur bak cawan di musim hujan. Setiap lima tahun sekali ada partai politik baru yang ikut pemilu karena lolos verifikasi dan ada saja yang hilang karena tidak lolos Parliement Treshold (PT). Yang lolos PT sebanyak 10 partai. Secara umum kesepuluh partai ini hanya dibagi dalam dua kategori basis pemilihnya, yaitu partai nasionalis dan partai agamis. Semua partai ini semuanya partai nasionalis, karena semuanya berasaskan pancasila.

Suasana kehidupan politik era Orde Baru dan Orde Reformasi berbeda, walawpun di dua era ini tidak ada partai yang berbasis ideologi. Letak perbedaannya pada sistem politik dan sistem pemilu. Di era Orde Baru, sistem politik menerapkan demokrasi perwakiilan. Sistem pemilihan menggunakan sistem proporsional tertutup. Dengan sistem ini selama pemilu Orde Baru tidak ada praktek money politics

Kondisinya berubah ketika pada paruh kedua sistem pemilihan umum menggunakan sistem proporsional terbuka. Dengan sistem ini para calon anggota legislatif membeli suara dari rakyat. Rakyat akhirnya memilih berdasarkan serangan fajar, bukan berdasarkan program dan apalagi ideologi, karena partai tidak lagi punya ideologi yang khas.

Akibat dari sistem ini politik menjadi barang dagangan. Akhirnya, yang bisa duduk di kursi kekuasaan adalah yang punya uang, baik itu uang pribadi atau uang dari sponsor. Akibat selanjutnya adalah dikuasainya politik oleh kaum oligarki dan merebaknya korupsi.

Sebenarnya ada satu partai yang tidak sepenuhnya menggunakan kekuatan uang, yaitu Partai Keadilan Sejahtera (PKS). Para simpatisan partai ini memilih para calegnya, bukan karena uang sogokan recehan untuk memilih yang dikenal dengan “serangan fajar”, karena setahu saya PKS tidak melakukannya. Para simpatisan, terutama pemilih muslim, menganggap Partai ini partai Islam, atau partai yang bisa memperjuangkan aspirasi umat Islam. Sepuluh tahun terakhir menjadi oposisi Pemerintah, masyarakat berharap PKS bisa terus melawan rezim Jokowi yang memusuhi umat Islam.

Dalam bahasa yang lugas, bila partai lain membeli suara pemilih urusannya selesai setelah mereka menerima uang sogokan. Setelah itu mereka mau korupsi, sudah tidak ada urusan lagi.

Halnya berbeda dengan PKS yang “membeli” suara pemilih dengan harapan dan amanat. Urusannya tidak selesai kalau harapan dan amanat itu tidak tertunaikan. Tidak bisa PKS pergi melenggang meninggalkan rakyat pemilihnya dan berkomplot dengan kekuatan politik yang menjadi musuh rakyat, musuh umat Islam, dan demokrasi.