SYAHDAN, tujuan pendidikan yang dirumuskan Ki Hadjar Dewantara adalah hamemayu hayuning sarira, hamemayu hayuning bangsa, dan hamemayu hayuning buana.
Ya, Ki Hadjar Dewantara, yang bernama kecil Raden Mas Soewardi Surjaningrat, lahir di Yogyakarta, 2 Mei 1889, adalah putra kedua Kanjeng Pangeran Haryo Surjaningrat, dan cucu Paku Alam III.
Soewardi kecil mendapat gemblengan dari sang bunda yang humanis, dan ayah, lebih-lebih dari sang kakek, yang keras menentang Belanda. Soewardi juga mondok di Pesantren Kalasan, Sleman, di bawah asuhan K.H. Abdurrahman.
Sehingga, Soewardi, meski terlahir sebagai anak ningrat bangsawan, tumbuh menjadi pribadi yang dekat dengan anak-anak dari kalangan jelata.
Suatu Ketika, Soewardi berkesempatan masuk sekolah dasar untuk anak Eropa, ELS. Ia lantas mengajak teman-temannya untuk turut serta masuk ELS.
Namun, kenyataan berkata lain. Teman-temannya tidak diperbolehkan masuk sebab kejelataaan mereka. Soewardi murung. Ia berjanji suatu saat akan membebaskan anak-anak sebangsanya yang terpinggirkan itu.
Karena keinginannya yang membuncah, hendak membebaskan generasi nusantara dari kebodohan dan belenggu penjajahan, Soewardi, selepas ELS, masuk ke sekolah guru, Kweekschool.
Namun, tidak sampai lulus, hanya bertahan setahun, ia pindah ke sekolah dokter, STOVIA. Dan, ternyata serupa dengan di sekolah guru, di STOVIA pun ia tak lulus.
Selanjutnya, Soewardi bekerja di Pabrik Gula Kalibagor, Banyumas, sebagai ahli kimia. Lagi-lagi hanya sebentar singgah. Maret 1912, ia ke Bandung bekerja di surat kabar Sedyotomo, De Express, Kaoem Moeda, Tjahaja Timoer.
Selagi menjalani pekerjaan jurnalis, Soewardi aktif di Sarekat Islam cabang Bandung. Lantas bersama Ernest Douwes Dekker dan Tjipto Mangoenkoesoemo, Soewardi mendirikan Indische Partij, 25 Desember 1912.
November 1913, Soewardi menghimpun Komite Bumiputera, sebagai protes atas terbentuknya Komite Perayaan Seratus Tahun Kemerdekaan Belanda dari Prancis.
Komite Bumiputera melancarkan kritik, betapa ironis Belanda yang akan merayakan kemerdekaan dengan cara menarik biaya dari Hindia Belanda. Soewardi menulis “Als Ik Eens Nederlander Was” (Seandainya Aku Seorang Belanda).
“Sekiranya aku seorang Belanda, aku tidak akan menyelenggarakan pesta-pesta kemerdekaan di negeri yang kita sendiri telah merampas kemerdekaannya. Sejajar dengan jalan pikiran itu, bukan saja tidak adil, melainkan juga tidak pantas menyuruh si inlander memberikan sumbangan untuk dana perayaan itu. Pikiran untuk menyelenggarakan perayaan itu saja sudah menghina mereka dan sekarang kita garuk pula kantungnya. Ayo teruskan penghinaan lahir dan batin itu! Kalau aku seorang Belanda. Apa yang menyinggung perasaanku dan kawan-kawan sebangsaku terutama ialah kenyataan bahwa bangsa inlander diharuskan ikut mengongkosi suatu pekerjaan yang ia sendiri tidak ada kepentingan sedikit pun” (Mata Air Keteladanan, hal. 354).
Akibat tulisan tersebut, Soewardi dibuang ke Pulau Bangka. Indische Partij pun dilarang. Kedua sahabatnya, Douwes Dekker dan Tjipto juga turut dibuang ke tempat yang berbeda.
Kemudian, ketiga tokoh Indische Partij itu, yang juga dikenal sebagai “tiga serangkai”, mengajukan permintaan untuk disatukan di Belanda, dan permintaan mereka dikabulkan. Alhasil, mereka, tiga serangkai itu menjadi orang buangan di Belanda.
Dalam masa pembuangan di negeri Eropa, Soewardi berkesempatan belajar ilmu Pendidikan. Ia berkenalan dengan ide-ide Froebel dan Montessori, serta model pendidikan Santiniketan yang dikembangkan Rabindranath Tagore.
September 1919, Soewardi Kembali ke tanah air. Ia pun segera mewujudkan gagasan pendidikan untuk kalangan jelata, Taman Siswa, yang resmi berdiri pada 3 Juli 1922. Perguruan Taman Siswa mengombinasikan gagasan pendidikan Barat, dari Froebel dan Montessori, dengan model pesantren yang marak di tanah air, terutama Jawa.
Berikutnya, setelah genap berusia 40 tahun, Soewardi mengganti namanya menjadi Ki Hadjar Dewantara. Ia mendedikasikan diri benar-benar total untuk pendidikan.
Bersama Taman Siswa, ia menandaskan bahwa pendidikan itu menuntun segala kekuatan kodrat, baik kekuatan dalam hidup batin maupun kekuatan lahir, yang melekat pada setiap anak. Pendidikan adalah proses belajar menjadi manusia berkebudayaan yang merdeka, yang memahami diri sendiri sekaligus memahami lingkungannya.
Dari situlah tampak, Ki Hadjar Dewantara benar-benar memiliki kedekatan dengan Maria Montessori, Helen Parkhust, Rabindranath Tagore, dan Paulo Freire, sebagai tokoh-tokoh pendidikan berhaluan merdeka.
Bagi Ki Hadjar, sekali lagi pendidikan adalah proses kebudayaan, yang berjenjang untuk kognitif (ngerti), afektif (ngrasa), dan psikomotorik (nglakoni). Sehingga, kurikulumnya pun berkisar pada upaya daya pikir, daya rasa, daya karsa, dan daya raga.
Singkat kata, menurut Ki Hadjar bahwa pendidikan itu upaya menuju kesempurnaan hidup. Bahwa pendidikan mesti bersemangat keluhuran budi manusia. Bahwa pendidikan adalah titian ke arah kecerdasan budi pekerti. Bahwa pendidikan adalah mendidik ke arah kekeluargaan dan gotong royong. Bahwa pendidikan mesti selaras dengan hidup dan penghidupan rakyat, serta tidak tercerabut dari realitas keseharian.
Begitulah, sekilas Ki Hadjar Dewantara yang saya sadap buku Mata Air Keteladanan karya Yudi Latif. Ki Hadjar kini dikenang sebagai tokoh pendidikan, tanggal lahirnya dijadikan sebagai hari Pendidikan Nasional. Ki Hadjar meninggal pada 29 April 1959.
Diskusi tentang post ini