Posisi guru/pengajar, dalam konsep ‘Taman Siswa’ memiliki sifat among. Yakni membimbing siswa penuh kasih sayang serta menjaga agar tetap berada dalam radius pembelajar yang penuh keriangan
TAMPAKNYA sederhana sekali, ketika kehidupan pendidikan itu disebut Ki Hajar Dewantoro sebagai taman, ‘taman siswa’. Kata taman itu menggambarkan suatu tempat yang asri, teduh, yang siapapun berada didalamnya merasa riang gembira, tahan berlama lama dan rindu untuk kembali.
Begitulah iklim pendidikan semestinya. Denyutnya seperti berada disebuah taman, baik dalam arti sesungguhnya maupun nuansanya. Seluruh warga sekolah, utamanya siswa, merasakan ‘nafas taman’ sejak memasuki area sekolah dan dilanjut pada seluruh aktifitas yang ada di sekolah hingga mereka keluar meninggalkan sekolah dengan membawa rasa rindu untuk segera kembali esok hari.
Bagi siswa, belajar adalah keriangan ‘bermain main’. Mereka mendapat pengetahuan seperti memperoleh stimulus yang menggairahkan untuk mencari yang lebih banyak lagi dan selalu merasa kurang.
Di taman itu, siswa bermain main untuk ‘mencari’ dan ‘menemukan’ dengan penuh antusias seperti tak kenal lelah. Belajar seperti ‘elan bermain’ yang tak pernah terpuaskan.
Posisi guru/pengajar, dalam konsep ‘Taman Siswa’ memiliki sifat among. Yakni membimbing siswa penuh kasih sayang serta menjaga agar tetap berada dalam radius pembelajar yang penuh keriangan. Guru bukan semata ‘pemberi materi’ yang selalu berada di depan kelas dan memberi contoh contoh.
Pada saat yang sama, guru juga berposisi sebagai teman belajar siswa yang saling memberi dan sama sama ‘mencari dan menemukan’. Sementara dari belakang, keberadaan guru adalah pemberi semangat dan dorongan agar seluruh dinamika sekolah tumbuh dan berkembang.
Gambaran sekilas pendidikan sebagai taman siswa menjadikan sekolah terasa lebih manusiawi dan alamiah. Sekolah adalah wahana yang bukan hanya tempat mencari ilmu tapi juga mekarnya kejiwaan manusia.
Pada posisi ini ide taman siswa menjadi relevan dan akan selalu relevan pada kondisi apapun. Hal ini karena subyek dan obyek pendidikan adalah manusia sehingga iklim dan dinamika yang manusiawi adalah habitat yang tepat untuk penyelenggaraan pendidikan.
Hari ini ide taman siswa masih menjadi ‘mimpi indah’ dan jauh panggang dari api, meski kelahirannya sudah jauh di masalalu. Dinamika pendidikan saat ini lebih dekat pada suasana pabrik yang mekanistis dan penuh keteraturan. Sekolah menjadi seperti wajah perusahaan tempat orang bekerja dengan ritme rutinitas.
Siswa dan guru melakukan hal yang sama tiap hari, menjalan aktifitas rutin dan berulang. Sebagian orang menganggap sekolah semacam ini tak lebih sebuah penjara, di mana siswa dikurung dalam sebuah bangunan, ruang geraknya terbatas dan hanya menunggu instruksi. Ekspresi kegembiraan terlihat pada saat suara lonceng kepulangan berbunyi dan pengumuman liburan yang disambut layaknya pesakitan mendapatkan kebebasan.
Suatu keprihatinan yang mendalam, ketika banyak sekolah sekolah kita seperti itu. Lembaga pendidikan kita bukan sekolahnya manusia yang seharusnya tumbuh secara manusiawi. Sedikit banyak mental siswa dalam suasana semacam ini akan alami gangguan, atau setidaknya mereka tumbuh tidak secara penuh sebagaimana seharusnya.
Banyak potensi yang mereka miliki tidak mendapat ruang berkembang pada usia yang paling memungkinkan. Dan bertahun tahan tahun lamanya anak anak kita merasakan keadaan seperti itu dan belum ada tanda tanda akan terjadi perubahan.
Menjadi lebih ironik dan dramatis, kalau tidak boleh dibilang tragedi, di tengah iklim pendidikan yang kurang memberi ruang tumbuh manusiawi, prestasi pendidikan kita dalam kancah dunia juga terpuruk dalam urutan bawah.
Sekitar 20 tahun ke belakangan, prestasi pendidikan kita (versi PISA) selalu menempatkan prestasi pendidikan Indonesia berada pada papan bawah untuk literasi, sain dan matematika. Pendidikan seperti tidak mendapat apa apa baik dari sisi prestasi maupun sisi manusiawi.
Terlepas dari capaian prestasi, Taman Siswa sebagaimana yang digagas Ki Hajar Dewantoro, perlu menjadi wajah dan elan pendidikan kita. Kita mesti bergerak ke sana. [Luk]