“Pada dasarnya semua orang adalah sama, kemampuan yang membuatnya berbeda. Bila ada kesempatan menunjukkan kemampuan, pasti, kami penyandang disabilitas bisa membangun bangsa dan negara. Saya percaya negara ini akan maju kalau semua warganya, termasuk kami, bergotong royong berpikir dan melakukan sesuatu untuk negara,” kata Adjat Sudrajat.
Sudah cukup banyak difabel yang membuktikan bahwa kemampuan mereka melebihi anggapan orang-orang. Namun sejauh ini, belum terlihat jelas intervensi negara untuk mengentaskan persoalan kesempatan kerja bagi difabel sebagai kelompok minoritas terbesar di Indonesia.
“Umumnya hari ini difabel memanfaatkan jalur informal walaupun disayangkan penerimaannya tidak luas. Tunanetra, misalnya, selalu hanya dikaitkan dengan pijit. Padahal untuk tunanetra saja sudah ada 12 orang yang jadi doktor … Ada pula data kita di Jakarta, 150 tunanetra yang bekerja sebagai telemarketing yang tersebar di bank-bank di Jakarta. Ini membuktikan bahwa, jika diberikan kesempatan lain, sebetulnya disabilitas juga bisa,” kata Adjat Sudrajat, yang juga anggota Dewan Transportasi Jakarta.
Tidak diberikannya kesempatan kepada penyandang disabilitas jelas sebuah kerugian. Seturut pernyataan Organisasi Buruh Internasional (ILO), bahwa mengucilkan penyandang disabilitas dari angkatan kerja artinya negara harus siap kehilangan PDB sebesar 3 sampai 7 persen.
Oleh itu, penting kiranya mulai menjadikan kapabilitas sebagai tolok ukur utama. Melalui pendekatan ini, akan terlihat bagaimana daya efektif seseorang mengubah komoditas, pendapatan, atau manfaat (utilitas) menjadi capaian yang bernilai bagi kesejahteraan seseorang. Selain itu, dengan mengakui seseorang berdasarkan kemampuannya, cukup mudah untuk mengatakan bahwa pendekatan ini akan mengurangi ketidakadilan yang dirasakan penyandang disabilitas, akibat pandangan diskriminatif kepada mereka.
Setidaknya pula, jika pendekatan itu dapat dilaksanakan, ada dua persoalan sekaligus yang mampu terjawab. Pertama, meningkatkan partisipasi difabel dalam masyarakat. Kedua, mengurangi kemiskinan.
Dalam pada itu catatan ILO menyebut, sekitar 82 persen penyandang disabilitas hidup di bawah garis kemiskinan dan kerap kali menghadapi keterbatasan akses atas kesehatan, pendidikan, pelatihan dan pekerjaan yang layak. Maka, penting bagi pemerintah untuk memastikan adanya perspektif disabilitas dalam semua aspek kebijakan dan peraturan, yang bukan sebatas aturan kosong.
Kerangka seperti ini menunjukkan, bahwa sekaranglah saatnya bagi sebuah bangsa dengan jumlah penduduk yang besar seperti Indonesia, untuk melihat bahwa rakyat (termasuk rakyat disabilitas) merupakan sumber daya paling utama. Jika rakyat berdaya, kemajuan lainnya akan mengikuti dengan sendirinya.