Barisan.co – Pada tahun 2018, Survei Sosial Ekonomi Nasional Badan Pusat Statistik (Susenas BPS) menyebut angka difabel usia 2 tahun ke atas berjumlah 12,3 persen dari total penduduk Indonesia. Angka ini setara 31,2 juta jiwa penduduk. Dari jumlah tersebut, mayoritas difabel sebesar 62,5 persen merupakan usia produktif (15-64 tahun), 27,5 persen berusia 65 tahun ke atas, dan 9,9 persen berusia 2-17 tahun.
Meski pemerintah sudah mengadopsi perspektif disabilitas terutama di sisi ketenagakerjaan, pada kenyataannya, mayoritas difabel belum banyak mendapat kesempatan kerja yang sesuai dan bernilai bagi martabatnya sebagai manusia. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016, yang mewajibkan kantor pemerintahan mempekerjakan disabilitas sedikitnya 2 persen dari total pegawai—dan 1 persen di perusahaan swasta—pun belum sepenuhnya dilaksanakan.
Sebagai gambaran, Menteri BUMN Erick Thohir pada sebuah pernyataan menyebut, sepanjang 2020 ini, BUMN baru merekrut sejumlah 178 penyandang disabilitas untuk bekerja di perusahaan plat merah.
Di luar itu, masih banyak ditemukan kasus penyandang disabilitas yang kesulitan mengakses jenis pekerjaan formal.
Sekjen Komite Advokasi Disabilitas Indonesia (KADI) Mas Yusuf Gunawan menyayangkan kenyataan tersebut. Menurutnya, selain penyerapan yang tidak maksimal, kurangnya keterlibatan masyarakat mengontrol pemberlakuan UU Nomor 8 Tahun 2016 juga menjadi persoalan.
“Peraturan hak kuota tenaga kerja dalam UU Nomor 8 Tahun 2016 ini perlu diimplementasikan dalam bentuk Perda, dan ini belum dilakukan. Lebih dari itu, ia juga seharusnya diikuti oleh komunitas-komunitas dalam pengawasannya,” ujar Gunawan dalam acara Mimbar Virtual yang diselenggarakan barisan.co memperingati hari Bahasa Isyarat Internasional, Selasa (22/09/2020).
Gunawan menambahkan, bahwa soal kuota tenaga kerja ini merupakan kewajiban negara yang mesti terus-menerus dituntut pemenuhannya. Ia juga menyebut harus ada komitmen kesetaraan yang tidak diskriminatif dalam bentuk apapun. “Komitmen itu belum nampak. Bahkan fasilitas kerja maupun upah kerja di perusahaan-perusahaan Indonesia belum menunjukkan adanya kesetaraan dan keadilan bagi teman-teman difabel,” ujar Gunawan.

Ki-Ka: Sekretaris Jenderal Komite Advokasi Disabilitas Indonesia (KADI) Mas Yusuf Gunawan, dan Wakil Ketua DPD Persatuan Tunanetra Indonesia (Pertuni) DKI Jakarta Adjat Sudrajat, memberi paparan dalam acara Mimbar VIrtual barisan.co, Selasa (22/09/2020).
Pendekatan Kapabilitas
Dalam kesempatan yang sama, Wakil Ketua DPD Persatuan Tunanetra Indonesia (Pertuni) DKI Jakarta Adjat Sudrajat menilai, pemerintah perlu membuka kesempatan lebih luas kepada penyandang disabilitas.
“Pada dasarnya semua orang adalah sama, kemampuan yang membuatnya berbeda. Bila ada kesempatan menunjukkan kemampuan, pasti, kami penyandang disabilitas bisa membangun bangsa dan negara. Saya percaya negara ini akan maju kalau semua warganya, termasuk kami, bergotong royong berpikir dan melakukan sesuatu untuk negara,” kata Adjat Sudrajat.
Sudah cukup banyak difabel yang membuktikan bahwa kemampuan mereka melebihi anggapan orang-orang. Namun sejauh ini, belum terlihat jelas intervensi negara untuk mengentaskan persoalan kesempatan kerja bagi difabel sebagai kelompok minoritas terbesar di Indonesia.
“Umumnya hari ini difabel memanfaatkan jalur informal walaupun disayangkan penerimaannya tidak luas. Tunanetra, misalnya, selalu hanya dikaitkan dengan pijit. Padahal untuk tunanetra saja sudah ada 12 orang yang jadi doktor … Ada pula data kita di Jakarta, 150 tunanetra yang bekerja sebagai telemarketing yang tersebar di bank-bank di Jakarta. Ini membuktikan bahwa, jika diberikan kesempatan lain, sebetulnya disabilitas juga bisa,” kata Adjat Sudrajat, yang juga anggota Dewan Transportasi Jakarta.
Tidak diberikannya kesempatan kepada penyandang disabilitas jelas sebuah kerugian. Seturut pernyataan Organisasi Buruh Internasional (ILO), bahwa mengucilkan penyandang disabilitas dari angkatan kerja artinya negara harus siap kehilangan PDB sebesar 3 sampai 7 persen.
Oleh itu, penting kiranya mulai menjadikan kapabilitas sebagai tolok ukur utama. Melalui pendekatan ini, akan terlihat bagaimana daya efektif seseorang mengubah komoditas, pendapatan, atau manfaat (utilitas) menjadi capaian yang bernilai bagi kesejahteraan seseorang. Selain itu, dengan mengakui seseorang berdasarkan kemampuannya, cukup mudah untuk mengatakan bahwa pendekatan ini akan mengurangi ketidakadilan yang dirasakan penyandang disabilitas, akibat pandangan diskriminatif kepada mereka.
Setidaknya pula, jika pendekatan itu dapat dilaksanakan, ada dua persoalan sekaligus yang mampu terjawab. Pertama, meningkatkan partisipasi difabel dalam masyarakat. Kedua, mengurangi kemiskinan.
Dalam pada itu catatan ILO menyebut, sekitar 82 persen penyandang disabilitas hidup di bawah garis kemiskinan dan kerap kali menghadapi keterbatasan akses atas kesehatan, pendidikan, pelatihan dan pekerjaan yang layak. Maka, penting bagi pemerintah untuk memastikan adanya perspektif disabilitas dalam semua aspek kebijakan dan peraturan, yang bukan sebatas aturan kosong.
Kerangka seperti ini menunjukkan, bahwa sekaranglah saatnya bagi sebuah bangsa dengan jumlah penduduk yang besar seperti Indonesia, untuk melihat bahwa rakyat (termasuk rakyat disabilitas) merupakan sumber daya paling utama. Jika rakyat berdaya, kemajuan lainnya akan mengikuti dengan sendirinya.
Diskusi tentang post ini