ADALAH Al-Quran dan As-Sunah. Kemudian dihayati, internalisasi, dan diekspresikan ke luar, eksternalisasi, dalam sebuah komunitas. Itulah yang akhirnya menunjukkan bahwa Islam tidak berhenti sebagai agama individual, tapi juga sebagai kolektivitas. Islam adalah komunitas itu sendiri.
Dr. Kuntowijoyo membedah itu, Islam sebagai komunitas, bahwa ada upaya internalisasi dan eksternalisasi. Nah, dalam internalisasi ada empat pilar yang Pak Kunto ketengahkan. Pertama, syariah. Syariah adalah pengakuan penuh akan sumber hukum, Al- Quran dan Sunah. Namun, secara lazim, syariah dipahami sebatas rukun Islam, yaitu syahadat, salat, zakat, puasa, dan haji. Sehngga dengan menginternalisasi rukun Islam, seseorang merasa telah menjadi muslim yang kaffah, sempurna.
Kedua, akhlak, yakni inti dari agama. Tersebut bahwa Nabi saw. hadir tiada lain untuk memperbaiki akhlak. Dan, ada seruan untuk “meniru etika Tuhan” sebagai dasar perbaikan akhlak umat Muhammad saw. Pak Kunto menyebut paling tidak lima etika ketuhanan, yaitu rahman, rahim, ghafur, barr, dan ihsan.
Ketiga, sufisme, usaha untuk selalu mendekatkan diri kepada Tuhan. Keempat, individu dalam Islam masa kini. Dan, untuk yang terakhir ini, Pak Kunto sangat menekankan, sedianya umat pada masa serba cepat dan sistemik, berorientasi menjadi muslim secara kaffah, menyeluruh, sepenuhnya, serta total dalam internalisasi agama. Artinya, seorang muslim tidak boleh mendua. Tidak bisa urusan ibadah mengikuti Islam, tapi dalam ekonomi atau politik mengikuti individualisme, sosialisme, dan marxisme.
Kemudian, soal ekternalisasi, sang guru besar sejarah itu meneropong bahwa keberadaan komunitas Islam adalah sebuah keniscayaan. Karena rukun Islam, terutama keempat pilarnya—salat, zakat, puasa, dan haji—memerlukan komunitas dalam perwujudannya.
Sifat komunitas Islam ini adalah komprehensif dan egalitarian. Komprehensif artinya aktif dalam semua dimensi kehidupan. Komunitas Islam merupakan satuan sosial, satuan ekonomi, satuan politik, satuan budaya, dan satuan-satuan yang lain yang mana masjid menjadi pusat luasannya.
Kemudian egalitarian Islam, dapat kita saksikan di masjid (dan semestinya meluas ke semua wilayah kehidupan). Di masjid jelas terlukis tatkala sedang salat berjamaah, segala rupa, status sosial, dan kelas membaur menjadi satu kesamaan gerak dan kiblat. Tidak ada pembedaan di situ.
Adapun fungsi komunitas, menurut paparan Pak Kunto, adalah sebagai interest group (kelompok kepentingan) dan pressure group (kelompok penekan). Sebagai kelompok kepentingan, umat Islam mengharap bisa selalu menjalani syariah secara aman dan nyaman, baik dalam arti sebenarnya maupun sekadar ritual rukun Islam. Kemudian, sebagai kelompok penekan, komunitas Islam memiliki dua agenda perjuangan, yaitu jalan Tuhan dan kepentingan kaum dhu’afa serta mustadh’afin.
Nah, sebagai pamungkas, Dr. Kuntowijoyo mengenalkan istilah kesadaran profetik, untuk menandai kesadaran sejarah komunitas Islam dalam menjalani fungsi komunitas. Berlandas surat Ali Imran: 110, “Kalian benar-benar umat terbaik yang pernah dilahirkan bagi [kebaikan] manusia: kalian menyuruh berbuat benar dan melarang berbuat salah, dan kalian beriman kepada Allah.”
Pak Kunto mengontekstualisasikan prinsip profetik itu menjadi, pertama, menyuruh berbuat benar berarti humanisasi. Upaya kultural dalam budaya, mobilitas sosial, pembangunan ekonomi, dan rekulturasi dalam politik. Humanisasi ini perlu karena arus dehumanisasi sedemikian kencang menggerogoti masyarakat kita.
Sebab dehumanisasi, umat Islam lambat laun menjadi manusia-manusia mesin, dan masyarakat massa. Masyarakat yang terkendali oleh arus tren, bukan oleh kesadaran nurani nan jernih.