Scroll untuk baca artikel
Opini

Materialisme, Media Sosial, dan Kebahagiaan

Redaksi
×

Materialisme, Media Sosial, dan Kebahagiaan

Sebarkan artikel ini

Tim riset dari American Psychological Association pada tahun 2014 mendapati temuan menarik tentang sifat materialistik. Hasil wawancara mereka dengan psikolog Knox College Tim Kasser menyimpulkan, bahwa, semakin tinggi orang mendukung nilai-nilai materialistik, semakin mereka mengalami emosi yang tidak menyenangkan, depresi, dan kecemasan.

Penelitian tersebut juga menemukan bahwa para materialis cenderung memperlakukan orang lain dengan cara yang manipulatif, egois, serta kurang berempati. Selain itu mereka juga kompetitif, dan kompetisi para matre dapat kita rasakan di banyak tempat, termasuk, tentu saja, di media sosial.

Dan begitulah sehingga kita merasakan betapa glowing-nya media sosial. Banyak materialis menggunakan medsos sebagai ajang pamer. Atau bahkan—dugaan ini mengerikan!—hampir semua orang terjebak dalam budaya materialistik dan ingin menonjolkan status diri, uang, harta, maupun popularitas masing-masing di sana.

Hubungan nilai materialistik dengan media sosial itu juga menjadi subjek penelitian Tim Kasser. Kesimpulan penelitian ini adalah, semakin tinggi penggunaan media sosial, semakin matre orang-orang.

Itu menjadi masuk akal karena sebagian besar pesan media sosial juga berisi iklan. Ada berbagai barang dan jasa diiklankan, dan karena semua iklan pada dasarnya menarik, banyak orang terdorong membeli barang atau jasa yang ditawarkan.

Soal apakah yang dibeli adalah apa yang dibutuhkan, ceritanya lain. “Begitulah cara perusahaan media sosial mendapatkan untung,” kata Kasser.

Konsekuensi dari Materialisme

Banyak psikolog berpikir bahwa para materialis pada dasarnya tidak bahagia. Mereka tidak bahagia karena mengabaikan kebutuhan psikologis mereka yang sebenarnya.

Medsos mungkin menawarkan kebahagian, perasaan bebas, kompeten, serta terkoneksi dengan orang lain. Namun itu bukan kebutuhan psikologis yang sebenarnya. Alih-alih, medsos membuat para materialis menjalani kehidupan lebih buruk.

Kartunis Olivier Gaspirtz pernah mengatakan, “Orang yang paling bahagia bukanlah orang yang memiliki hal terbaik atau paling banyak, melainkan orang yang paling menghargai apa yang mereka miliki”.

Penulis Ellen J. Barrier menyampaikan kurang lebih sama, “Kebahagiaan tidak pernah ditemukan dalam hal-hal yang materialistis; itu ada dalam hal-hal yang tidak dapat dimiliki secara fisik. Karena itu, kebahagiaan tidak ternilai harganya. Itu tidak pernah dapat dibeli.”

Tentu saja kita juga perlu mempertimbangkan kemungkinan selain materialisme seperti di atas. Apalagi, mengutip dari verywellmind.com, materialisme memiliki sejumlah konsekuensi, di antaranya adalah utang.

Jutaan orang Amerika berakhir dalam utang ribuan dolar setelah liburan berlebihan, menggelar pernikahan mewah, serta terlalu banyak belanja sepanjang tahun. Alih-alih memperoleh harga diri akan sebuah pencapaian, mereka tak menyadari bahwa kebiasaan gila belanja itu makin menjauhkan cita-cita kebahagiaan.

Materialisme juga mengarah kepada penimbunan. Apa masalah menimbun, adalah karena ketika itu terjadi, seseorang menempatkan keterikatan emosional pada barang-barang materi dibanding berpaling dalam memenuhi kebutuhan mereka.

Para psikolog telah menemukan tidak adanya hubungan antara materialisme dengan kebahagian. Dan sebetulnya, ada banyak sekali keburukan yang inheren dalam materialisme.

Untuk mengatasi budaya materialisme, kita perlu mengubah cara memandang diri sendiri serta memahami pentingnya ketenangan dalam berpikir.

Identitas serta kebahagiaan tidak bergantung dari apa yang kita miliki. Sebaliknya, tindakan, sasaran, tujuan dan hubungan dengan orang lain meciptakan pondasi tentang siapa kita.