Barisan.co
Tak ada hasil
Lihat semua hasil
Barisan.co
Tak ada hasil
Lihat semua hasil
Barisan.co
Tak ada hasil
Lihat semua hasil
Beranda Opini

Materialisme, Media Sosial, dan Kebahagiaan

:: Opini Barisan.co
18 Maret 2021
dalam Opini

Ilustrasi: tangkapan layar facebook

Bagi ke FacebookCuit di TwitterBagikan ke Whatsapp
Oleh: Anatasia Wahyudi

Tim riset dari American Psychological Association pada tahun 2014 mendapati temuan menarik tentang sifat materialistik. Hasil wawancara mereka dengan psikolog Knox College Tim Kasser menyimpulkan, bahwa, semakin tinggi orang mendukung nilai-nilai materialistik, semakin mereka mengalami emosi yang tidak menyenangkan, depresi, dan kecemasan.

Penelitian tersebut juga menemukan bahwa para materialis cenderung memperlakukan orang lain dengan cara yang manipulatif, egois, serta kurang berempati. Selain itu mereka juga kompetitif, dan kompetisi para matre dapat kita rasakan di banyak tempat, termasuk, tentu saja, di media sosial.

Dan begitulah sehingga kita merasakan betapa glowing-nya media sosial. Banyak materialis menggunakan medsos sebagai ajang pamer. Atau bahkan—dugaan ini mengerikan!—hampir semua orang terjebak dalam budaya materialistik dan ingin menonjolkan status diri, uang, harta, maupun popularitas masing-masing di sana.

Hubungan nilai materialistik dengan media sosial itu juga menjadi subjek penelitian Tim Kasser. Kesimpulan penelitian ini adalah, semakin tinggi penggunaan media sosial, semakin matre orang-orang.

BACAJUGA

kunci rumah tangga bahagia

Kunci Rumah Tangga Bahagia, Kajian Al-Hikam

23 Juni 2022
Media Sosial Revolusioner

Media Sosial Revolusioner

4 Juni 2022

Itu menjadi masuk akal karena sebagian besar pesan media sosial juga berisi iklan. Ada berbagai barang dan jasa diiklankan, dan karena semua iklan pada dasarnya menarik, banyak orang terdorong membeli barang atau jasa yang ditawarkan.

Soal apakah yang dibeli adalah apa yang dibutuhkan, ceritanya lain. “Begitulah cara perusahaan media sosial mendapatkan untung,” kata Kasser.

Konsekuensi dari Materialisme

Banyak psikolog berpikir bahwa para materialis pada dasarnya tidak bahagia. Mereka tidak bahagia karena mengabaikan kebutuhan psikologis mereka yang sebenarnya.

Medsos mungkin menawarkan kebahagian, perasaan bebas, kompeten, serta terkoneksi dengan orang lain. Namun itu bukan kebutuhan psikologis yang sebenarnya. Alih-alih, medsos membuat para materialis menjalani kehidupan lebih buruk.

Kartunis Olivier Gaspirtz pernah mengatakan, “Orang yang paling bahagia bukanlah orang yang memiliki hal terbaik atau paling banyak, melainkan orang yang paling menghargai apa yang mereka miliki”.

Penulis Ellen J. Barrier menyampaikan kurang lebih sama, “Kebahagiaan tidak pernah ditemukan dalam hal-hal yang materialistis; itu ada dalam hal-hal yang tidak dapat dimiliki secara fisik. Karena itu, kebahagiaan tidak ternilai harganya. Itu tidak pernah dapat dibeli.”

Tentu saja kita juga perlu mempertimbangkan kemungkinan selain materialisme seperti di atas. Apalagi, mengutip dari verywellmind.com, materialisme memiliki sejumlah konsekuensi, di antaranya adalah utang.

Jutaan orang Amerika berakhir dalam utang ribuan dolar setelah liburan berlebihan, menggelar pernikahan mewah, serta terlalu banyak belanja sepanjang tahun. Alih-alih memperoleh harga diri akan sebuah pencapaian, mereka tak menyadari bahwa kebiasaan gila belanja itu makin menjauhkan cita-cita kebahagiaan.

Materialisme juga mengarah kepada penimbunan. Apa masalah menimbun, adalah karena ketika itu terjadi, seseorang menempatkan keterikatan emosional pada barang-barang materi dibanding berpaling dalam memenuhi kebutuhan mereka.

Para psikolog telah menemukan tidak adanya hubungan antara materialisme dengan kebahagian. Dan sebetulnya, ada banyak sekali keburukan yang inheren dalam materialisme.

Untuk mengatasi budaya materialisme, kita perlu mengubah cara memandang diri sendiri serta memahami pentingnya ketenangan dalam berpikir.

Identitas serta kebahagiaan tidak bergantung dari apa yang kita miliki. Sebaliknya, tindakan, sasaran, tujuan dan hubungan dengan orang lain meciptakan pondasi tentang siapa kita.

Sebagian psikolog menyarankan agar kita memfokuskan diri pada tujuan, perjalanan, serta pengalaman pribadi dibandingkan termotivasi untuk meningkatkan citra di mata publik. Karena pada akhirnya, kebahagiaan adalah sangat bergantung pada pikiran dalam menilai diri sendiri.

Percayalah bahwa materialisme pada akhirnya akan mengaburkan kebahagiaan yang seharusnya direngkuh oleh setiap jiwa manusia tanpa terkecuali. Kini, mulailah dengan memikirkan cara sederhana untuk bahagia, alih-alih harus mencari perhatian di dunia maya dengan menjadikan ajang pamer dan saling bersaing untuk menjadi yang terbaik. Hal itu akan merugikan diri sendiri. []


Anatasia Wahyudi, Staf Barisanco.

Topik: KebahagiaanKelakuan WarganetMaterialismeMedia Sosial
Opini Barisan.co

Opini Barisan.co

Media Opini Indonesia

POS LAINNYA

Filosofi Pohon
Opini

Filosofi Pohon

11 Agustus 2022
Kaum Khawarij Modern
Opini

Potret Keberagamaan yang Ekslusif Kaum Khawarij Modern

9 Agustus 2022
Saat Anies Baswedan Meneladani Karakter dan Ajaran Tuhan Yesus Kristus
Opini

Saat Anies Baswedan Meneladani Karakter dan Ajaran Tuhan Yesus Kristus

15 Juli 2022
Diamnya Anies Menghadapi Fitnah, Tanda Kekuatan Seorang Muslim
Opini

Diamnya Anies Menghadapi Fitnah, Tanda Kekuatan Seorang Muslim

12 Juli 2022
Catatan Kelucuan di Negeri +62
Opini

Catatan Kelucuan di Negeri +62

12 Juli 2022
Pustakawan di Amerika Diteror, di Indonesia Minat Baca Rendah
Opini

Pustakawan di Amerika Diteror, di Indonesia Minat Baca Rendah

9 Juli 2022
Lainnya
Selanjutnya

LP3ES: Perlu Pendekatan Baru dalam Mengatasi Banjir Jakarta

Konsumsi Suplemen Vitamin Setiap Hari, Amankah?

Konsumsi Suplemen Vitamin Setiap Hari, Amankah?

Diskusi tentang post ini

TRANSLATE

TERBARU

Contoh Perbandingan Tarif Integrasi dan 28 Koridor Transjakarta yang Menerapkannya

Contoh Perbandingan Tarif Integrasi dan 28 Koridor Transjakarta yang Menerapkannya

12 Agustus 2022
Tarif Integrasi

Mulai Hari Ini, Tarif Integrasi Resmi Berlaku di 3 Moda Transportasi

12 Agustus 2022
meningkatkan daya belajar

Hal-hal yang Perlu Diperhatikan untuk Anak Sebagai “Booster” Daya Belajar

12 Agustus 2022
berbuat baik

Berbuat Baik, Keharusan Bagi Manusia

11 Agustus 2022
anies kenang Habib Zen bin Umar

Anies Baswedan Kenang Habib Zen bin Umar: Berakhlak Mulia

11 Agustus 2022
Jakarnaval

Disparekraf DKI  Gelar Jakarnaval 2022, Bangkitkan Pariwisata Jakarta

11 Agustus 2022
Program Pelatihan Ekonomi Pasar Sosial

Program Pelatihan Ekonomi Pasar Sosial: Pentingnya Kesetaraan

11 Agustus 2022

SOROTAN

Filosofi Pohon
Opini

Filosofi Pohon

:: Redaksi
11 Agustus 2022

Penulis: Andi Rukman Nurdin Karumpa * BELAJAR dari filosofi pohon, selayaknya sebagai seorang insan berakal untuk pandai mempelajari dan mencari...

Selengkapnya
Kaum Khawarij Modern

Potret Keberagamaan yang Ekslusif Kaum Khawarij Modern

9 Agustus 2022
Sejarah Penetapan Tahun Hijriah dan Arti Bulan-Bulan dalam Kalender Islam

Sejarah Penetapan Tahun Hijriah dan Arti Bulan-Bulan dalam Kalender Islam

1 Agustus 2022
satu abad chairil anwar

Satu Abad Chairil Anwar, Puisi dan Doa

26 Juli 2022
Film Invisible Hopes

Film Invisible Hopes Mengungkap Sisi Gelap Anak-Anak yang Lahir di Jeruji Penjara

23 Juli 2022
Beredar Surat Pengangkatan Tenaga Honorer Jadi PNS, Begini Penjelasan Kemen PANRB

Pegawai Negeri Dibutuhkan, Tetapi Cenderung Tidak Diapresiasi

21 Juli 2022
  • Tentang Kami
  • Kontak
  • Redaksi
  • Disclaimer
  • Pedoman Media Siber
  • Indeks Artikel

BARISAN.CO © 2020 hak cipta dilindungi undang-undang

Tak ada hasil
Lihat semua hasil
  • Terkini
  • Senggang
  • Fokus
  • Opini
  • Kolom
    • Esai
    • Analisis Awalil Rizky
    • Pojok Bahasa & Filsafat
    • Perspektif Adib Achmadi
    • Risalah
    • Kisah Umi Ety
    • Mata Budaya
  • Sastra
  • Khazanah
  • Katanya VS Faktanya
  • Video

BARISAN.CO © 2020 hak cipta dilindungi undang-undang