Nah, sebagai pamungkas, Dr. Kuntowijoyo mengenalkan istilah kesadaran profetik, untuk menandai kesadaran sejarah komunitas Islam dalam menjalani fungsi komunitas. Berlandas surat Ali Imran: 110, “Kalian benar-benar umat terbaik yang pernah dilahirkan bagi [kebaikan] manusia: kalian menyuruh berbuat benar dan melarang berbuat salah, dan kalian beriman kepada Allah.”
Pak Kunto mengontekstualisasikan prinsip profetik itu menjadi, pertama, menyuruh berbuat benar berarti humanisasi. Upaya kultural dalam budaya, mobilitas sosial, pembangunan ekonomi, dan rekulturasi dalam politik. Humanisasi ini perlu karena arus dehumanisasi sedemikian kencang menggerogoti masyarakat kita.
Sebab dehumanisasi, umat Islam lambat laun menjadi manusia-manusia mesin, dan masyarakat massa. Masyarakat yang terkendali oleh arus tren, bukan oleh kesadaran nurani nan jernih.
Kedua, melarang berbuat salah, berarti upaya memberantas kejahatan, seperti pelarangan penjualan narkotika dan pemberantasan korupsi, serta kolusi. Upaya revolusioner, dan Pak Kunto mengistilahkan liberasi—dalam sosial, ekonomi, dan politik.
Ketiga, beriman kepada Allah adalah transendensi. Upaya mengatasi dominasi materialisme dengan memasukkan kesadaran ketuhanan, kesadaran spiritual dan kesadaran akan makna dalam kehidupan sehari-hari, di segenap dimensi kehidupan.
Ya, konsekuensi dari peradaban yang mengagungkan materi, tak terelakkan peradaban dunia saat ini, termasuk di dunia Islam, dan secara khusus Indonesia, sedang mengalami krisis makna. Dan, krisis peradaban itu dapat diatasi melalui transendensi. Dalam Islam, transendensi itu akan berupa sufisme.
Begitu.