Scroll untuk baca artikel
Lingkungan

Krisis Ekologi, Sikap Manusia Terhadap Alam

Redaksi
×

Krisis Ekologi, Sikap Manusia Terhadap Alam

Sebarkan artikel ini

Allah sebagai pemilik tunggal semesta alam, menjadikan hasil ciptaanya untuk kepentingan manusia, yang sesungguhnya manusia juga merupakan bagian integral dari lingkungan.

Sumber daya alam dan lingkungan tercipta adalah untuk dapat didayagunakan oleh manusia, akan tetapi manusia bukanlah pemilik mutlak yang seenaknya mengeksploitasi ia terikat dengan hubungan hamba dengan Tuhannya. Manusia berkewajiban untuk menjaga, memlihara dan memakmurkan sumber daya alam dan lingkungan.

Sebagai pemelihara lingkungan yang menempati dan berinteraksi dengan alam mempunyai hubungan logis dalam upaya mewujudkan rahmatalil’alamin. Manusia sebagai subjek pemelihara harus mampu membuat perencanaan dan sekaligus melaksanakan serta mengawasi tindak pelestarian lingkungan.

Pemeliharaan lingkungan merupakan kewajiban yang harus dilaksanakan oleh manusia, apa lagi di era modern ini yang mana sudah terjadi dampak serius atas terjadinya krisis ekologis. Diperlukan pencegahan dan pengelolaan dalam penanganan krisis ekologis yang menimpa manusia modern, salah satu pemeliharaan tersebut melalui konservasi alam.

Konservasi merupakan sebagai bentuk kepedulian manusia terhadap lingkungan hidup dan fitrah manusia atas kesadaran ekologisnya untuk mendapatkan kehidupan yang layak dan mampu memikirkan kelangsungan hidup generasi kini maupun yang akan datang.

Semangat koservasi dan pelayanan terhadap pelestarian alam dan lingkungan telah di contohkan Rasulullah Saw sendiri, beberapa institusi penting yang dipandang sangat vital menyangkut alam semesta diantaranya; pembagian lahan, hutan, pengelolaan tanah, kawasan lindung, dan tata kota.

Intitusi penting tersebut diantaranya yaitu:

Pertama, ihya al-mawat merupakan syariat dalam memakmurkan dan memanfaatkan bumi untuk kepentingan kemaslahatan manusia secara individu maupun kolektif.

Kedua, iqta’ merupakan lahan yang dipinjamkan (lahan garap) oleh negara kepada para investor dengan perjanjian kesanggupan untuk mengadakan reklamasi, maka dalam iqta’ harus ada jaminan tanggung jawab, keuntungan baik untuk investor, pemerintah maupun masyarakat setempat.

Ketiga, ijarah atau sewa menyewa merupakan mekanisme syariat dalam mengelola lahan yang dimiliki oleh negara atau pribadi untuk disewakan. Perjanjian dalam sewa menyewa lahan ini harus ditentukan jangka waktunya dan ditentukan secara spesifik keperluannya.

Keempat, harim merupakan lahan atau kawasan yang sengaja dilindungi untuk melestarikan sember-sumber alam dan merupakan gabungan dua kawasan yaitu yang telah digarap (ihya) dan yang tidak digarap (mawat).

Kelima, hima merupakan salah satu istilah yang tepat untuk diterjemahkan menjadi kawasan lindung, hal ini seperti taman nasional, suaka alam, hutan lindung dan suaka margasatwa.

Dimensi diatas, ini terkait dengan hubungan keimanan berupa kebaikan dan kebenaran bahwa manusia diciptakan untuk mencintai dan memakmurkan alam semesta.

Sedangkan dialektika vertikal terikat dengan keindahan untuk bisa memanfaatkan alam untuk keperluan manusia dengan secukupnya dan tidak berlebihan serta mewujudkan keharmonisan estetik alam semesta. Sehingga krisis ekologi secara epistemologi dan aksiologi dapat dielaborasi ke berbagai bidang kehidupan manusia.