BARISAN.CO – Sekira pukul enam pagi, para pengawal Panglima Besar Jenderal Soedirman mendapat kabar bahwa Belanda telah melancarkan serangan kilat di lapangan terbang Maguwo (sekarang Adisucipto), dan dengan cepat menyerbu Kota Yogyakarta.
Yogyakarta dijadikan jantung perlawanan Belanda karena di sana ada pemimpin RI dan pemimpin angkatan perang RI. Jika serangan ini berlangsung sukses, Belanda yakin akan mampu menguasai kembali Indonesia.
Serangan penjajah Belanda yang dikenal sebagai Agresi Militer II itu membuat kondisi Indonesia dalam kesulitan. Bahkan, sebagai propaganda, Belanda mengumumkan jika TNI yang kala itu masih bernama TKR (Tentara Keamanan Rakyat) sudah tidak ada. Presiden Soekarno dan Hatta berhasil ditangkap. Tetapi, pemimpin Angkatan Perang Republik Indonesia, Jenderal Soedirman gagal ditangkap.
Melihat situasi yang semakin genting ini, Sri Sultan Hamengku Buwono IX yang saat itu berstatus tahanan rumah, lantas mengirim surat kepada Panglima Soedirman. Dalam suratnya, Sri Sultan meminta izin agar diadakan serangan guna merebut kembali Kota Yogyakarta dari tangan Belanda.
Komandan Kompi Pengawal Panglima Besar, Kapten Supardjo bersama Kapten Tjokropranolo, dan Letnan Kolonel Suadi masuk ke kamar Soedirman bersiap menerima perintah.
Soedirman meminta pena dan secarik kertas. Dia menulis Perintah Kilat No.1, 19 Desember 1948, pukul 08.00, berisi, “1) Kita telah diserang; 2) pada tanggal 19 Desember 1948 Angkatan Perang Belanda menyerang kota Yogyakarta dan lapangan terbang Maguwo; 3) Pemerintah Belanda telah membatalkan persetujuan gencatan senjata; 4) semua angkatan perang menjalankan rencana yang telah ditetapkan untuk menghadapi serangan Belanda”, tulisan Letjen (Purn) Himawan Soetanto dikutip dari buku ”Yogyakarta 19 Desember 1948, Jenderal Spoor versus Jenderal Sudirman,” (2006).
Panglima Besar Sudirman memberikan instruksi melakukan serangan balik untuk membuktikan bahwa TNI masih ada dan kuat. Perintah kilat itu sebagai pemantik bermulanya strategi Perang Gerilya.
Selanjutnya, rapat bersama antara petinggi militer dan pimpinan pemerintah sipil setempat memutuskan untuk melakukan serangan besar-besaran terhadap kota Yogyakarta pada 1 Maret 1949.
Bunyi sirine pukul 18.00 tanda jam malam berakhir menandakan dimulainya serangan. Pasukan TNI serentak menyerang pasukan Belanda dari segala penjuru kota.
Dalam perang yang terbilang singkat selama enam jam, Belanda mampu dilumpuhkan dan mereka meninggalkan pos militer yang ada.
Beberapa persenjataan yang dimiliki Belanda berhasil direbut oleh tentara gerilya menjadi tambahan logistik.
Tepat jam 12.00 siang keesokan harinya, pasukan diperintahkan untuk mengosongkan kota Yogyakarta dan kembali menuju pangkalan gerilya.
Serangan umum 1 Maret 1949 membawa arti penting bagi posisi Indonesia di mata internasional.
Selain membuktikan eksistensi TNI yang masih kuat, Indonesia memiliki posisi tawar melalui perundingan di Dewan Keamanan PBB. Perlawanan singkat tersebut turut mempermalukan Belanda dengan propagandanya. []