Oleh: Awalil Rizky
Dampak pandemi selama ini direspons Bank Indonesia dengan kebijakan moneter akomodatif, dengan alasan untuk menjaga stabilitas makroekonomi dan sistem keuangan, serta mendorong program PEN.
Bank Indonesia telah menempuh kebijakan moneter longgar, terutama dengan dengan menurunkan suku bunga kebijakan Bank Indonesia 7-Day Reverse Repo Rate (BI7DRR) dan injeksi likuiditas. Kebijakan demikian dikenal pula sebagai quantitative easing (QE).
Penurunan BI7DRR terutama bertujuan agar perbankan menurunkan suku bunga kreditnya. Pada gilirannya berikut diharapkan menurunkan tingkat bunga atau biaya semua jenis pembiayaan. Kondisi demikian dianggap akan mempu mendorong kegiatan sektor riil, atau setidaknya menahan pemburukan kondisi.
Sejak awal tahun 2020 sampai dengan Januari 2021, suku bunga BI7DRR turun sebesar 125 basis poin (bps). Penurunan dilakukan Bank Indonesia sebanyak lima kali sepanjang tahun 2020. Yaitu pada Februari, Maret, Juni, Juli, dan November.
Dikatakan, keputusan tersebut telah dilakukan secara terukur dan bertahap dengan menimbang inflasi yang diperkirakan tetap rendah dan menjaga daya saing aset keuangan domestic, stabilitas eksternal, serta sebagai upaya untuk mendorong pemulihan ekonomi.
Perbankan memang telah merespons dengan menurunkan suku bunga deposito dan suku bunga kreditnya. Akan tetapi, respons dalam hal deposito lebih cepat dibandingkan kredit.
Suku bunga deposito 1 bulan turun sebesar 189 bps. Dari 5.95 pada Januari 2020 menjadi 4.06 pada Januari 2021. Spread antara suku bunga SBDK dan suku bunga deposito 1 bulan pun mengalami kenaikan, dari 4,86% menjadi 5,97%.
Sementara itu, respons berupa penurunan suku bunga kredit berlangsung lebih lambat. Ukuran yang dipakai, sesuai peraturan Otoritas Jasa Keuangan, berupa suku bunga dasar kredit (SBDK).
SBDK digunakan sebagai dasar penetapan suku bunga kredit yang akan dikenakan pada nasabah, namun belum mencakup premi risiko yang dapat bervariasi untuk tiap debitur. Dengan demikian, perlu dipahami bahwa suku bunga kredit yang dikenakan kepada debitur belum tentu sama dengan SBDK.
SBDK hanya turun sebesar 78 bps, dari dari 10.81 menjadi 10.03. Hal ini menyebabkan spread SBDK terhadap BI7DRR melebar dari 5,82% pada Januari 2020 menjadi 6,28% pada Januari 2021. Atau justeru bertambah sebesar 46 bps.
Lambatnya atau rigiditas penurunan SBDK terjadi di hampir semua jenis kredit. Di antaranya kredit Konsumsi (KPR dan Non KPR), kredit Korporasi, dan kredit Ritel. Bahkan, pada segmen kredit Konsumsi Non KPR hanya turun sebesar 47 bps.
Respons lebih baik hanya terjadi pada penurunan SBDK kredit Mikro, sebesar 256 bps. Lebih besar dari penurunan BI7DRR. Akan tetapi mesti dicatat bahwa jenis kredit mikro masih memiliki level SBDK tertinggi, yaitu sebesar 13.77 pada Januari 2021.
Sebagai informasi, pembentuk SBDK terdiri dari tiga komponen. Yaitu: Harga Pokok Dana untuk Kredit (HPDK), Biaya Overhead (OHC), dan Marjin Keuntungan. HPDK terdiri dari biaya dana, biaya jasa, biaya regulasi, dan lainnya.
OHC terdiri dari biaya tenaga kerja, biaya pendidikan dan pelatihan, biaya penelitian dan pengembangan, biaya sewa, biaya promosi dan pemasaran, biaya pemeliharaan dan perbaikan, biaya penyusutan asset tetap dan inventaris, serta biaya overhead lainnya. Sedangkan marjin keuntungan ditetapkan oleh bank dalam kegiatan penyaluran kredit.
HDPK mengalami penurunan sebesar 98 bps, dan OHC sebesar 15 bps. Sementara itu, komponen Marjin Keuntungan justeru mencatat kenaikan sebesar 34 bps.
Dilihat dari kelompok Bank, ternyata bank BPD (Bank Pembangunan daerah) dan bank BUMN (Badan Usaha Milik Negara) yang merespons paling lambat, atau lebih rendah penurunan SBDKnya. SBDK bank BPD hanya turun 66 bps, dan SBDK bank BUMN sebesar 69 bps. Lebih rendah dibandingkan penurunan SBDK bank BUSN (Bank Umum Swasta Nasioal) dan KCBA (Kantor Cabang Bank Asing), yang masing-masing sebesar 105 bps dan 80 bps.