DALAM unggahan lukisan kanak ini, Kokok Hari Subandi memberi komentar: cucuku selalu membuatku kagum. Saya sendiri begitu melihat lukisan ini sontak tergetar. Ada negasi menguat bahwa, bahasa lukisan adalah garis.
Cucu Koko — demikian saja saya sebut — memiliki kebebasan berbahasa garis. Kebebasan yang memuat kemerdekaan diri dalam berekspresi. Bagaimana dia mengekspresikan dunianya secara bebas merdeka. Tanpa ada jejak dari mana pun, termasuk dari pendidikannya. Pendidikan formal, kalau dia sudah sekolah. Atau pendidikan di lingkungannya.
Tapi kebebasan di sini bukan tanpa arah. Melainkan tetap ada batas. Tetap terukur, dengan bentuk. Ada form yang membentuk kebebasannya menjadi karakter diri yang tadi saya sebut sebagai kemerdekaan.
Secara form, bentuk lukisannya mengingatkan saya pada lukisan babi Joko Pekik. Bukan saya mau menyamakan, tapi bentuk itulah yang mewadahi kebebasan — untuk tidak menyebut keliaran — dirinya. Atau dengan kalimat mudah: lukisan Cucu Koko ini menunjukkan kesemrawutan tapi tertata.
Secara diktum garis sebagai bahasa seni lukis, garis Cucu Koko menyiratkan kekuatan garis yang menakjubkan. Sehingga sang eyang berkesan: cucuku selalu membuatku kagum.
Dari manakah garis yang menakjubkan itu. Tentu saja dari karakter diri itu. Atau dengan kalimat praktis, dari kecerdasannya. Sampai di sini, Cucu Koko dalam lukisannya itu seakan mau mengingatkan, ada beda antara lukisan dan seni lukis.
Bahwa, dasar lukisan adalah keindahan, sedangkan basis seni lukis adalah kecerdasan. Bahkan, dengan media hitam putih, hitam-putihnya Cucu Koko lebih berwarna dari lukisan berwarna. Lebih dari itu, kekuatan garis Cucu Koko bahkan bercerita. Cerita itu bukan seperti cerpen, tapi saya seperti menikmati satu novel yang kuat dan penuh misteri.
Terus terang melihat lukisan Cucu Koko, saya merasa malu pada semua yang sudah saya lakukan.***