Lagi-lagi mantra sakti “masterly inactivity” yang menyelamatkan saya dari dominasi otak emosi. Bahwa kesadaran untuk tidak boros ocehan, lantaran percaya dan (sekaligus) respek terhadap anak, lamat-lamat menggiring saya untuk waspada dari sergapan perasaan “gimanaaa…gitu” dan cepat-cepat menambatkan diri ke neokorteks, otak rasional.
Demikian akhirnya, saya menangkap kesan bahwa masterly inactivity, tak lain adalah konsep untuk mendewasakan diri, baik anak maupun orangtua. Anak akan bebas berekspresi dan berlatih menerima kenyataan. Bahwa kenyataan tak selalu lurus dengan harapan. Pun orangtua mesti benar-benar sanggup menempatkan diri secara tepat, saat mendampingi anak. Sabar tapi tidak cuek.
Begitu kira-kira!