Tercatatlah peristiwa itu sebagai sejarah buram Islam periode awal. Sebuah perang yang melibat banyak sahabat utama, dan memakan ribuan korban di kedua belah pihak.
Perang antara kubu yang awal masuk Islam berhadapan dengan kelompok yang belakangan menganut Islam. Dan, sebagai petualang politik, yang berkarib dengan tradisi Persia, Muawiyyah menyadari akan kekalahan telak jika pertempuran terus berlanjut.
Ia dan pasukan Siria meletakkan al-Quran di ujung tombak-tombak mereka dan meminta diadakan arbitrase berdasar firman Tuhan. Ali dan Sebagian besar pengikutnya pun menerima.
Namun, ada beberapa tantara Ali yang membelot dan menuduh Ali berkompromi dengan para pendukung ketidakadilan dan dengan begitu mengkhianati kepercayaan.
Mereka menganggap Ali telah membenarkan kesalahan-kesalahan yang dilakukan Utsman. Kelompok ini kemudian dikenal dengan sebutan khawarij, orang-orang yang keluar dari barisan. Mereka memilih pimpinan mereka sendiri, terlepas dari kaum muslimin yang lain.
Nah, ketika arbitrasi terjadi, pada tahun 658, mediator Ali: Abu Musa al-Asy’ari, gubernur Kufah. Mediator Muawiyyah adalah ‘Amr ibn al-Ash, penakluk Mesir. Di pengikut Ali terpecah menjadi Partai Ali (Syiah) dan Partai Khawarij.
Sementara Muawiyyah berkesempatan meluaskan wilayah dan mendapatkan Mesir. Dan hasil keputusan dua mediator, secara sepihak lantaran “kepolosan” Abu Musa menyerahkan kekosongan pemerintahan kepada ‘Amr ibn Ash. Langsung Muawiyyah memproklamirkan dirinya sebagai khalifah di Yerusalem.
Kemudian, sebagai kelompok yang berlepas dari Ali, khawarij merasa harus cepat menuntaskan persoalan. Mereka beranggapan baik Ali maupun Muawiyyah adalah penanggung dosa besar, dan harus dibunuh.
Maka, pada pagi subuh, tahun 661, Abdurrahman ibn Muljam berhasil menikam Ali ibn Abi Thalib Ketika sedang mengimami salat di Kufah. Sementara Muawiyyah, yang bernaluri politik, bisa membaca gelagat gerakan Khawarij secara cermat plus tepat. Ia berhasil mengkonsolidasikan kekuatan umat Islam, sehingga selamat dari pembunuhan.
Alhasil, ketegangan politik, dan perebutan sumber daya ekonomi, semenjak Utsman serta pertikaian Ali versus Muawiyyah, kemudian meluas menjadi perpecahan khawarij, kubu Ali (syiah), dan kubu Muawiyyah, sekali lagi menjadi penggalan sejarah Islam yang teramat memilukan.
Perebutan yang sungguh sayang, telah mengalihkan energi umat dari pengembangan peradaban. Beruntunglah masih ada sisa kelompok yang fokus terhadap intelektual. Kelompok kecil yang tidak terlibat silang sengkarut perpecahan kekuasaan, rebutan harta, dan saling bunuh.