Rasio utang pada akhir tahun 2021 memang masih di bawah batas maksimal sebesar 60%. Akan tetapi terjadi peningkatan risiko yang signifikan
REALISASI Pendapatan Negara tahun 2021 merupakan berita baik. Mengalami peningkatan sangat signifikan, yaitu sebesar 21,6%. Capaiannya mencapai 114,9% dari target APBN yang ditetapkan tahun lalu. Bahkan melebihi prakiraan (outlook) Pemerintah beberapa bulan lalu.
Kenaikan pendapatan tersebut berhasil menekan lebarnya defisit APBN. Defisit hanya mencapai Rp787,7 triliun atau jauh lebih rendah dari rencana sebesar Rp1.006,4 triliun. Hal itu berhasil menurunkan kebutuhan berutang atau pembiayaan utang menjadi Rp867,4 triliun, atau lebih sedikit dari rencana sebesar Rp1.177,4 triliun.
Ditambah beberapa faktor lainnya dari pengelolaan utang, posisi utang hanya bertambah Rp828,79 triliun selama setahun. Posisi utang pemerintah per akhir Desember 2021 tercatat sebesar Rp6.908,87 triliun.
Utang pemerintah itu terdiri dari dua jenis atau bentuk, yaitu pinjaman dan Surat Berharga Negara (SBN). Posisi Pinjaman sebesar Rp818,56 triliun dan posisi SBN sebesar Rp6.090,31 triliun. Porsi Pinjaman sebesar 11,85%, dan porsi SBN sebesar 88,15% dari total utang.
Pinjamannya terdiri dari pinjaman dalam negeri sebesar Rp13,25 triliun, dan Pinjaman Luar Negeri sebesar Rp05,31 triliun. Pinjaman luar negeri sebenarnya dinyatakan dalam berbagai mata uang atau valuta asing, sesuai kesepakatan dengan pemberi pinjaman.
Sedangkan yang berbentuk SBN terdiri dari denominasi rupiah (domestik) dan denominasi valuta asing (valas). SBN domestik sebesar Rp4.822,87 triliun. SBN valas terdiri dari: dolar Amerika, Euro, dan Yen Jepang. Nilainya dikonversi dalam rupiah berdasar kurs tengah Bank Indonesia tercatat sebesar Rp1.267,44 triliun.
Pemerintah berutang kepada berbagai pihak. Kepada lembaga internasional, seperti: kepada pemerintah negara lain, perusahaan swasta dan kepada perorangan. Juga kepada bank BUMN dan kepada Bank Indonesia.
Rasio utang atas Produk Domestik Bruto (PDB) dilaporkan sebesar 41%. PDB nominal diasumsikan sebesar Rp16.850,20 triliun, yang merupakan nilai disetahunkan dari data PDB selama tiga triwulan. Realisasi PDB tahun 2021 sendiri masih menunggu rilis Badan Pusat Statistik (BPS) pada awal Februari.
Jika nilai PDB nantinya lebih rendah dari asumsi, maka rasio utang akan melebihi 41%. Sebaliknya jika ternyata lebih tinggi. Besar kemungkinan akan sedikit lebih rendah dari asumsi tersebut.
Bagaimanapun, rasio utang pemerintah masih meningkat. Sebelumnya, dampak pandemi membuat rasionya melonjak dari 30,23% pada akhir tahun 2019 menjadi 39,38% pada akhir 2020. Peningkatan rasio utang atas PDB dapat diartikan bahwa tren penambahan utang pemerintah melampaui pertumbuhan PDB.
Rasio utang pada akhir tahun 2021 memang masih di bawah batas maksimal sebesar 60%, yang diperbolehkan oleh Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara. Akan tetapi terjadi peningkatan risiko yang signifikan. Peningkatan risiko sebenarnya telah dimulai sebelum pandemi, dari 24,68% (2014) menjadi 30,23% (2019).
Risiko utang dapat diartikan sebagai pemburukan suatu atau beberapa kondisi yang bersifat tidak terduga, atau sekurangnya melampaui yang diharapkan. Bagian dari risiko yang terpenting terkait dengan kemampuan memenuhi segala kewajiban, seperti pelunasan utang pokok dan pembayaran bunga.
Ada beberapa indikator untuk menggambarkan risiko utang, yang merupakan hasil kajian akademis berdasar pengalaman banyak negara di masa lalu. Rasio utang atas PDB hanya salah satu indikator. Profil utang seperti data jenis, denominasi, waktu jatuh tempo dan sumber utang dapat dianalisis sebagai indikator risiko.
Dalam hal kemampuan membayar pun lazim dipakai rasio posisi utang atas Pendapatan Negara. Rasio ini justeru lebih bersifat langsung terkait kemampuan membayar beban utang. Secara lebih khusus, beban utang dianalisis terkait beban pelunasan atas pokok utang dan pembayaran bunga utang.
Rasio utang terhadap pendapatan sempat melonjak menjadi 368,99% pada tahun 2020, dari 244,13% pada tahun 2019. Berhasil diturunkan menjadi 344,91% pada tahun 2021. Namun, masih melampaui rekomendasi IMF sebesar 90-150% dan rekomendasi International Debt Relief (IDR) sebesar 92 – 167%.
Pelunasan pokok utang pada tahun 2020 sebesar Rp456,50 triliun dan bunga utang sebesar Rp314,1 triliun. Total beban utang (debt service) sebesar Rp779,6 triliun. Realisasi sementara tahun 2021 belum melaporkan besaran pelunasan pokok utang, sedangkan bunga sebesar Rp343,5 triliun. Diprakirakan pelunasan pokok utang sekitar Rp500 triliun, sehingga total beban mencapai Rp843,5 triliun.
Rasio beban utang terhadap pendapatan negara pada tahun 2020 mencapai 46,76%. Peningkatan sangat signifikan dalam kinerja pendapatan berhasil menekannya menjadi kisaran 42,11% pada tahun 2021. Namun masih lebih tinggi dari rekomendasi International Monetary Fund (IMF) yang sebesar 25-35%.
Rasio pembayaran bunga terhadap pendapatan sempat meningkat drastis pada tahun 2020 menjadi 19,06% dari 14,05% pada tahun 2019. Berhasil diturunkan menjadi 17,15% pada tahun 2021. Namun masih melampaui rekomendasi IDR sebesar 4,6-6,8% dan rekomendasi IMF sebesar 7-10%.
Risiko pengelolaan utang Pemerintah saat ini bertambah dalam aspek pencarian utang baru. Kondisi APBN masih memaksa pelunasan pokok utang dan pembayaran bunga utang bersumber dari hasil penarikan utang baru. Diindikasikan oleh keseimbangan primer yang masih minus Rp440,2 triliun.
Sejauh ini, kegagalan membayar beban utang tidak pernah terjadi di Indonesia. Bahkan pada saat krisis 1997/1998, Pemerintah masih berhasil memenuhi kewajibannya, meski dengan susah payah. Bagaimanapun, secara teoritis dan secara teknis masih terdapat risiko gagal membayar utang di masa mendatang.
Ada risiko lain yang kadang kurang tergambar dalam berbagai rasio yang dikenal umum. Pemenuhan kewajiban utang secara bersusah payah, membuat pemerintah tidak memiliki dana memadai untuk memberi pelayanan publik yang lebih baik. Kemampuan mengantisipasi berbagai tantangan baru dalam dinamika perekonomian pun menjadi berkurang. [rif/dmr]